Kebenaran
Al-Quran sebagai Wahyu Allah SWT
Paling tidak ada tiga aspek dalam
Al-Quran yang dapat menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus
menjadi bukti bahwa seluruh informasi atau petunjuk yang disampaikannya adalah
benar bersumber dari Allah SWT.
Ketiga aspek tersebut akan lebih
meyakinkan lagi, bila diketahui bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang yang pandai
membaca dan menulis. Ia juga tidak hidup dan bermukim di tengah-tengah
masyarakat yang relatif telah mengenal peradaban, seperti Mesir, Persia atau
Romawi. Beliau dibesarkan dan hidup di tengah-tengah kaum yang oleh beliau
sendiri dilukiskan sebagai "Kami adalah masyarakat yang tidak pandai
menulis dan berhitung." Inilah sebabnya, konon, sehingga angka yang
tertinggi yang mereka ketahui adalah tujuh. Inilah latar belakang, mengapa
mereka mengartikan "tujuh langit" sebagai "banyak langit."
Al-Quran juga menyatakan bahwa seandainya Muhammad dapat membaca atau menulis
pastilah akan ada yang meragukan kenabian beliau (baca QS 29:48).
Ketiga aspek yang dimaksud di atas
adalah sebagai berikut. Pertama, aspek keindahan dan ketelitian
redaksi-redaksinya. Tidak mudah untuk menguraikan hal ini, khususnya bagi kita
yang tidak memahami dan memiliki "rasa bahasa" Arab --karena
keindahan diperoleh melalui "perasaan", bukan melalui nalar. Namun
demikian, ada satu atau dua hal menyangkut redaksi Al-Quran yang dapat membantu
pemahaman aspek pertama ini.
Seperti diketahui, seringkali
Al-Quran "turun" secara spontan, guna menjawab pertanyaan atau
mengomentari peristiwa. Misalnya pertanyaan orang Yahudi tentang hakikat ruh.
Pertanyaan ini dijawab secara langsung, dan tentunya spontanitas tersebut tidak
memberi peluang untuk berpikir dan menyusun jawaban dengan redaksi yang indah
apalagi teliti. Namun demikian, setelah Al-Quran rampung diturunkan dan
kemudian dilakukan analisis serta perhitungan tentang redaksi-redaksinya, ditemukanlah
hal-hal yang sangat menakjubkan. Ditemukan adanya keseimbangan yang sangat
serasi antara kata-kata yang digunakannya, seperti keserasian jumlah dua kata
yang bertolak belakang.
Abdurrazaq Nawfal, dalam Al-Ijaz
Al-Adabiy li Al-Qur'an Al-Karim yang terdiri dari tiga jilid, mengemukakan
sekian banyak contoh tentang keseimbangan tersebut, yang dapat kita simpulkan
secara sangat singkat sebagai berikut.
A. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan antonimnya.
Beberapa contoh, di antaranya:
- Al-hayah (hidup) dan al-mawt (mati), masing-masing sebanyak 145 kali;
- Al-naf' (manfaat) dan al-madharrah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
- Al-har (panas) dan al-bard (dingin), masing-masing 4 kali;
- Al-shalihat (kebajikan) dan al-sayyi'at (keburukan), masing-masing 167 kali;
- Al-Thumaninah (kelapangan/ketenangan) dan al-dhiq (kesempitan/kekesalan), masing-masing 13 kali;
- Al-rahbah (cemas/takut) dan al-raghbah (harap/ingin), masing-masing 8 kali;
- Al-kufr (kekufuran) dan al-iman (iman) dalam bentuk definite, masing-masing 17 kali;
- Kufr (kekufuran) dan iman (iman) dalam bentuk indifinite, masing-masing 8 kali;
- Al-shayf (musim panas) dan al-syita' (musim dingin), masing-masing 1 kali.
B. Keseimbangan jumlah bilangan kata
dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
- Al-harts dan al-zira'ah (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
- Al-'ushb dan al-dhurur (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
- Al-dhallun dan al-mawta (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
- Al-Qur'an, al-wahyu dan Al-Islam (Al-Quran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
- Al-aql dan al-nur (akal dan cahaya), masing-masing 49 kali;
- Al-jahr dan al-'alaniyah (nyata), masing-masing 16 kali.
C. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk kepada akibatnya.
- Al-infaq (infak) dengan al-ridha (kerelaan), masing-masing 73 kali;
- Al-bukhl (kekikiran) dengan al-hasarah (penyesalan), masing-masing 12 kali;
- Al-kafirun (orang-orang kafir) dengan al-nar/al-ahraq (neraka/ pembakaran), masing-masing 154 kali;
- Al-zakah (zakat/penyucian) dengan al-barakat (kebajikan yang banyak), masing-masing 32 kali;
- Al-fahisyah (kekejian) dengan al-ghadhb (murka), masing-masing 26 kali.
D. Keseimbangan antara jumlah
bilangan kata dengan kata penyebabnya.
- Al-israf (pemborosan) dengan al-sur'ah (ketergesa-gesaan), masing-masing 23 kali;
- Al-maw'izhah (nasihat/petuah) dengan al-lisan (lidah), masing-masing 25 kali;
- Al-asra (tawanan) dengan al-harb (perang), masing-masing 6 kali;
- Al-salam (kedamaian) dengan al-thayyibat (kebajikan), masing-masing 60 kali.
E. Di samping
keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
- Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun. Sedangkan kata hari yang menunjuk kepada bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti "bulan" (syahr) hanya terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
- Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada "tujuh." Penjelasan ini diulanginya sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam ayat-ayat Al-Baqarah 29, Al-Isra' 44, Al-Mu'minun 86, Fushshilat 12, Al-Thalaq 12, Al-Mulk 3, dan Nuh 15. Selain itu, penjelasannya tentang terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
- Kata-kata yang menunjuk kepada utusan Tuhan, baik rasul (rasul), atau nabiyy (nabi), atau basyir (pembawa berita gembira), atau nadzir (pemberi peringatan), keseluruhannya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut, yakni 518 kali.
Demikianlah sebagian dari hasil
penelitian yang kita rangkum dan kelompokkan ke dalam bentuk seperti terlihat
di atas.
Kedua adalah pemberitaan-pemberitaan
gaibnya. Fir'aun, yang mengejar-ngejar Nabi Musa., diceritakan dalam surah
Yunus. Pada ayat 92 surah itu, ditegaskan bahwa "Badan Fir'aun tersebut
akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi berikut." Tidak
seorang pun mengetahui hal tersebut, karena hal itu telah terjadi sekitar 1200
tahun S.M. Nanti, pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1896, ahli
purbakala Loret menemukan di Lembah Raja-raja Luxor Mesir, satu mumi, yang dari
data-data sejarah terbukti bahwa ia adalah Fir'aun yang bernama Maniptah dan
yang pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908,
Elliot Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka
pembalut-pembalut Fir'aun tersebut. Apa yang ditemukannya adalah satu jasad
utuh, seperti yang diberitakan oleh Al-Quran melalui Nabi yang ummiy (tak
pandai membaca dan menulis itu). Mungkinkah ini?
Setiap orang yang pernah berkunjung
ke Museum Kairo, akan dapat melihat Fir'aun tersebut. Terlalu banyak ragam
serta peristiwa gaib yang telah diungkapkan Al-Quran dan yang tidak mungkin
dikemukakan dalam kesempatan yang terbatas ini.
Ketiga, isyarat-isyarat ilmiahnya.
Banyak sekah isyarat ilmiah yang ditemukan dalam Al-Quran. Misalnya
diisyaratkannya bahwa "Cahaya matahari bersumber dari dirinya sendiri,
sedang cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)"
(perhatikan QS 10:5); atau bahwa jenis kelamin anak adalah hasil sperma pria,
sedang wanita sekadar mengandung karena mereka hanya bagaikan
"ladang" (QS 2:223); dan masih banyak lagi lainnya yang kesemuanya
belum diketahui manusia kecuali pada abad-abad bahkan tahun-tahun terakhir ini.
Dari manakah Muhammad mengetahuinya kalau bukan dari Dia, Allah Yang Maha
Mengetahui!
Kesemua aspek tersebut tidak
dimaksudkan kecuali menjadi bukti bahwa petunjuk-petunjuk yang disampaikan oleh
Al-Quran adalah benar, sehingga dengan demikian manusia yakin serta secara
tulus mengamalkan petunjuk-petunjuknya.
0 komentar:
Posting Komentar