"Ternyata Gunung Emas (Ophir) Letaknya di Sumatera Barat"
Kata “Ophir” bukanlah bahasa Indonesia atau bahasa Melayu dan bukan pula
bahasa Sanskerta. Kata Ophir berasal dari bahasa Ibrani tua, yang
dikaitkan dengan emas atau perak. Dalam kisah-kisah Salomon, pada
mitologi Yahudi, Nabi Sulaiman dalam Islam, kata “Ophir” mengacu kepada
Nabi agama Yahudi, Islam dan Nasrani itu. Lalu, mengapa pula kata
“Ophir” muncul di Sumatera ?
Menurut mitologi Yunani, Timur Jauh adalah ujung dunia, dimana Adam dan
Hawa diturunkan ke bumi. Diyakini pula, Asia Tenggara (Nusantara) adalah
pusat chryse (emas) dan argse (perak). Dalam kitab Perjanjian Lama
disebutkan, Nabi Sulaiman pernah mencari ophir (emas) ke wilayah timur.
Menurut kepercayaan dulu, bahwa tanah tempat Sulaiman mendarat tersebut
adalah Auerea Chersensus (Golden Peninsula Malaya) dan tepatnya di
Ceylon dan Sumatera. Inilah pangkal muasal haluan kapal diarahkan ke
matahari terbit.
Kitab-kitab kuno mendiskripsikan, sorga dengan ciri-ciri : Hijau
hutannya, banyak buahnya, banyak airnya, banyak binatangnya, dan banyak
daratannya. Manusianya tidak tinggi, tidak pendek. Rambutnya tidak
kriting, dan tidak pula lurus. Kulit tidak hitam, tidak pula putih.
Hidung tidak mancung, tidak pula pesek. Mata tidak besar, tidak pula
sipit. Jika kita sedikit menerawang, tanpa bekal pengetahuan yang luas,
bisa dibayangkan, kawasan yang disebut-sebut sebagai sorga itu tentulah
kawasan kepulauan dan berada di khatulistiwa ini.
Diskripsi kitab-kitab kuno itulah membuat para pengelana terobsesi
berlayar ke arah matahari terbit untuk menemukannya. Para pengelana
tersebut kemudian memang berhasil mencapai suatu kawasan kepulauan
(archipelago), yang kemudian mewarnai sejarah kawasan yang tak bernama
ini dulunya.
Kembali kita ke kata “Ophir”, yang telah menjadi mesteri besar dalam
sepanjang sejarah manusia, yang membuat saya penasaran ada kata asing
tak dikenal tertera di kawasan Sumatera ini.
Mari kita lihat dari sejarah pertambangan di indonesia
Pada awalnya Belanda datang di bumi Nusantara karena tertarik akan
rempah-rempah khas seperti lada dan pala yang melimpah di negri ini. Dan
kemudian Belanda juga mengeksploitasi kesuburan tanah Nusantara dengan
membuka perkebunan aneka komoditas dengan menerapkan sistem tanam paksa
yang sangat menyengsarakan penduduk pribumi. Selain itu Belanda juga
melirik kekayaan mineral khususnya emas. Jejak kegiatan penambangan yang
dilakukan Belanda selama berkuasa di Indonesia masih dapat dijumpai
mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi.
Namun jauh sebelum Belanda datang, Nusantara sudah terkenal akan
kekayaan emasnya. Emas sebagai salah satu komoditas tambang sudah
dikenal dan diusahakan di Nusantara sejak lebih dari seribu tahun yang
lalu. Selain situs tambang, banyak artefak yang ditemukan para arkeolog
yang terbuat dari emas, baik berupa mahkota, perlengkapan peribadatan,
perhiasan, hingga peralatan sehari-hari. Mitos atau legenda dengan emas
menjadi bagian dari kisahnya, masih dituturkan hingga kini. Secara
empiris hal tersebut membuktikan bahwa sejak dahulu, beberapa daerah di
negri ini pernah menjadi pusat penambangan emas, pengrajin emas, hingga
perdagangan emas.
Tambang Salida
Pusat tambang emas tertua Nusantara diantaranya berada di Sumatera.
Menurut M.J. Crow dan T.M. van Leeuwen, jalur emas Sumatra berhimpitan
dengan garis patahan karena adanya peristiwa geologi. Proses
mineralisasi emas ini terjadi berbarengan dengan munculnya basur magma
sepanjang Bukit Barisan. Interaksi magma dengan batuan dasar pada
tekanan tertentu sehingga membentuk zona ubahan pada batuan induk lava
dan tufa yang kemudian berperan sebagai batuan induk kaya mineral ( host
rock ), termasuk emas. Logam mulia tersebut banyak ditemukan disekitar
kawasan Bukit Barisan seperti Martabe, Rawas, Bangko, Lebong, dan
Mandailing. Hal ini menjadikan pulau Sumatra terkenal dengan sebutan
SWARNADWIPA. Yang dalam bahasa Sanskerta berarti "Pulau Emas" seperti
yang tertera pada prasasti Nalanda, tahun 860 Masehi.
Perdagangan emas di pulau ini telah berlangsung lama. Berita mengenai
Pulau Emas sudah sampai ke Eropa melalui cerita-cerita para pelaut Arab.
Penyair Portugis yang terkenal, Luiz de Camoens (1524-1580), menulis
sebuah puisi epik "Os Lusiadas" (1572), tentang Gunung Ophir di Pasaman
yang kaya emas, yang diperdagangkan oleh penduduk lokal dengan orang
asing. Melalui catatan Tome Pirse, seorang petualang di awal abad 16
telah diketahui bahwa emas telah diperdagangkan di seluruh kota
pelabuhan di Sumatera terutama Barus. Bahkan jauh sebelum itu, melalui
tulisan Ptolomeus dalam Geographia pada awal abad ke-2, disebutkan bahwa
pelabuhan tua di pantai barat Sumatra Utara tersebut, emas telah
menjadi salah satu komoditas utama yang diperdagangkan selain kapur
barus. Emas yang diperdagangkan tersebut diperkirakan berasal dari
sungai-sungai yang berhulu di sekitar Bukit Barisan.
Sebuah batu bertuliskan huruf Hindi yang berasal dari peradaban
Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya dan Melayu menceritakan bahwa
“Sultan Sungai Emas” mengekspor emasnya kehilir melalui sungai Indragiri
dan Siak yang mengalir dari tanah tinggi Sumatera Barat ke pantai barat
Sumatera. Disebut pula bahwa orang Minang yang pertama kali menempati
jantung kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang. Kerajaan Minangkabau
yang kaya dengan emas merupakan pendukung dari Kerajaan Sriwijaya abad
ke 7 pada masa kejayaan agama Budha.
Hingga awal abad ke-17 tambang-tambang di daerah Minangkabau merupakan
daerah yang paling kaya akan emas di seluruh kawasan itu. Emas ditambang
dari sungai-sungai di sebelah timur dan ditambang-tambang bukit
Minangkabau. Dikabarkan bahwa pernah terdapat 1200 tambang emas di sana
(Marsden 1783: 168; cf. Eredia 1600: 238-239).
Melalui perjanjian Painan, pada tahun 1662 VOC mendapat konsesi untuk
berdagang di pantai barat Sumatra. VOC mulai mengeksploitasi kandungan
emas Salida pada tahun 1669 semasa jabatan commandeur VOC ketiga untuk
pos Padang; Jacob Joriszoon Pit (1667-23 Mei 1678). Dua ahli tambang
pertama yang didatangkan ke Salida bernama Nicolaas Frederich Fisher dan
Johan de Graf yang berasal dari Hongaria.
Selama 150 tahun beroperasinya Tambang Salida tidak banyak yang
diketahui orang mengenai tambang itu sampai kemudian Verbeek menerbitkan
bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost-Indische Compagnie bij de
ontginning der goud- en zilveraders te Salida op Sumatras Westkust
[Catatan tentang tindakan VOC mulai menggarap sumber emas dan perak di
Salida, Sumatra Barat] (1886).
Nah ternyata Gunung Talamau atau juga disebut Gunung Ophir (Emas) yang
merupakan gunung tertinggi di Sumatera Barat terletak di Kabupaten
Pasaman Barat, berdampingan dengan Gunung Pasaman.
Apakah saat ini masih ada emas di sana ya?
Jumat, 21 November 2014
SUMATERA ADALAH KOTA EMAS
08.40
No comments
0 komentar:
Posting Komentar