Makna Syahadat "Asyhadu an laa ilaha illallah"
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalimat لا إله إلا الله (Laa ilaha illallah) dinamakan dengan kalimat tauhid karena dengan kalimat ini orang yang mengucapkannya dianggap sebagai seorang muslim yang bertauhid kepada Allah selama dia tidak melakukan hal-hal yang bisa membatalkan ketauhidannya. Orang yang berada di luar Islam tidak dinamakan muslim yang bertauhid, akan tetapi dinamakan kafir atau musyrik karena dia telah menyekutukan Allah atau mencari tuhan lain selain daripada Allah.
Kalimat لا إله إلا الله bermakna: "Tidak ada sesembahan yang berhak dan patut disembah melainkan Allah semata."
Dalil atas makna ini adalah firman Allah ta'ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan atau Tuhan yang berhak untuk disembah) selain Allah.” [QS Muhammad: 19]
Dan firman Allah :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah dialah (Tuhan) yang Haq (berhak untuk disembah), dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil. Sesungguhnya Allah dialah Al ‘Aliyy (Yang Maha Tinggi) lagi Al Kabir (Yang Maha Besar).” [QS Al Hajj: 62]
Makna dan Syarat Laa Ilaaha Ilallah (لا إله إلا الله)
Makna Laa Ilaaha Ilallah menurut para ulama ahlussunnah dari kalangan salaf (terdahulu) sampai sekarang begitu pula para muhaqqiq (ulama peneliti) adalah:
لا معبود بحق إلا الله
(Laa ma’buuda bi haqqin ilaallaah)
“Tidak ada (sesembahan) yang diibadahi dengan benar selain Allah.”
Yaitu beritikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. Kalimat Laa Ilaaha Illallah ini mengandung makna penafian (نفي /peniadaan) sesembahan selain Allah pada kalimat Laa Ilaaha (لاإله). Kemudian itsbat (إثبات/penetapan) untuk Allah semata pada kalimat Illallah (إلا الله).
Khabar Laa ilaaha illallah harus ditaqdirkan dengan bihaqqin (بحق /yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujud (موجود/ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebatilan yang nyata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah,
فالعلم بمعناها واجب و مقدم على سائر أركان الإسلام
“Mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun Islam yang lainnya.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قال لا إله إلا الله مُخلِصا دخل الجنة
“Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan keikhlasan hati, pasti ia masuk surga.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Orang yang ikhlas ialah yang memahami Laa Ilaaha Illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,
يا عم قل لا إله إلا الله ، كلمة أحاجّ لك بعا عند الله “، و أبى أن يقول لا إله إلا الله
“Wahai pamanku, katakanlah, ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab:
قولوا لا إله إلا الله ، فقالوا إلها واحدا ! ما سمعنا بهذا ؟
“Katakanlah, ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah), maka mereka menjawab: “Hanya satu sesmbahan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?”
Demikian itu, karena bangsa Arab MEMAHAMI makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya (karena kesombongan yang ada pada diri mereka).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada mereka,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ, وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ, بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan (Ilah) yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? ‘Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-37)
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قال لا إله إلا الله و كفر بما يُعبد من دون الله ، حرُم ماله و دمهُ
“Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darahnya (dirampas/diambil).” (HR. Muslim)
Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat mewajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo’a (memohon) kepada mayit, dan lain-lainnya.
Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah,
“لا إله إلا الله ” أساس التوحيد و الإسلام ، و منهج كامل للحياة ، يتحقق بتوجيه كل أنواع العبادة لله ، و ذلك إذا خضع المسلم لله ، و دعاه وحده ، و احتكم لشرعه دون غيره
“Laa Ilaaha Illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepadaNya, dan menjadikan syari’atNya sebagai hukum, bukan yang lainnya.”
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah,
“الإله” هو الذي يطاع ولا يُعصى هيبة و إجلالا، و محبة و خوفا و رجاء ، و توكلا عليه ، و سؤالا منه ، و دعاء له ، و لا يصلح هذا كله إلا لله عز و جل ، فمن أشرك مخلوقا في شيء من هذه الأمور التي هي خصائص الإله ، كان ذلك قدحا في إخلاصه في قوله :”لا إله إلا الله “، و كان فيه من عبودية المخلوق، بحسب ما فيه من ذلك”
“Al-Ilaah (الإله) ialah Dzat yang ditaati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo’a (memohon) kepadaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu perkara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan Laa Ilaaha Illallah dan mengandung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.”
Sesungguhnya kalimat “Laa Ilaaha Illallah” itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,
أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة
“Bahwa ibadah tidak teranggap dia ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah teranggap sebagai shalat kecuali jika disertai dengan bersuci. Karenanya jika ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah itu, sebagaimana rusaknya shalat bila disertai adanya hadats.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barangsiapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, pasti ia masuk surga.” (HR. Hakim, hadits hasan)
Kesempurnaan suatu bangunan sangatlah bergantung kepada kokohnya pondasi tersebut. Adapun kesempurnaan dalam beragama harus memiliki dasar-dasar yang kuat, dan dasar-dasar tersebut harus pula memenuhi syarat-syaratnya.
Berkata Wahb bin Munabbih sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari, “Setiap kunci memiliki gigi-gigi, dan kunci surga adalah Laa Ilaaha Illallah.”
Beliau juga berkata: “Gigi-gigi kunci tersebut adalah syaratnya, jika engkau membawa kunci yang memiliki gigi niscaya akan terbuka pintunya dan jika tidak memiliki gigi tidak akan dibuka bagimu.” (Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 2)
Kemudian beliau juga menjelaskan, “Laa Ilaaha illallah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap pengikrarnya. Semua syarat tersebut tidak diharuskan untuk dihafalkan tetapi cukup untuk diamalkan kandungannya walaupun tidak dihafal.” (Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 3)
Syarat-syaratnya terhimpun dalam bait syair dibawah ini:
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ
مَحَبَّةٍ وَانْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلِ لَهَا
“Ilmu, yakin dan ikhlas berikut kejujuranmu bersama.
Cinta, ketundukan dan kepasrahan menerimanya.”
Syarat Pertama: Mengilmui makna kalimat Laa Ilaha illallah.
Maknanya adalah mengilmui dan mewujudkan di dalam amal karena tidak cukup hanya mengilmui maknanya lalu tidak mengamalkannya. Bukankah orang Kafir Quraisy di masa silam lebih mengetahui maknanya dibanding kaum muslimin di masa sekarang? Namun pengetahuan mereka tentang kalimat yang agung ini tidak menjadikan mereka beriman disebabkan mereka tidak mau mengamalkan apa yang mereka ketahui. Hal tersebut nampak ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar mengucapkan Laa Ilaaha Illallah sembari mereka menyangkal.
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia (Rasulullah) akan menjadikan sesembahan-sesembahan (ini) menjadi satu? Sesungguhnya ini perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5)
Tentang syarat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firmanNya,
إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali bagi orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahuinya.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui kalimat La ilaha illallah akan masuk ke dalam surga.”
Syarat kedua: Yakin terhadap makna yang dikandungnya.
Keyakinan yang akan menghilangkan keraguan pada diri seorang muslim. Artinya, yang mengucapkannya meyakini kebenaran, kandungan, dan konsekuensi kalimat tersebut, dengan keyakinan yang pasti dan bukan dengan dugaan belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu padanya dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa-jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan kejujuran iman orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak ada keraguan padanya. Karena ragu dalam keimanan merupakan sifatnya orang-orang munafiq.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang engkau jumpai di belakang tembok ini, yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dengan penuh keyakinan dalam hati maka berikanlah kabar gembira dengan surga .”
Sٍyarat Ketiga: Ikhlas
Keikhlasan yang akan memadamkan segala gejolak kesyirikan, kemunafikan, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar/populer). Karena ikhlas dalam pandangan agama adalah membersihkan amalan dengan niat yang baik dari segala noda-noda kesyirikan.
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan penuh keikhlasan dari hatinya .”
Dari ‘Itban bin Malik, telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلىَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang megucapkan Laa Ilaaha Illallah semata-mata mencari wajah Allah.”
Syarat Keempat: Jujur
Kejujuran yang akan menghilangkan sifat dusta. Artinya, orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah harus dibenarkan oleh hatinya, karena jika dia mengucapkannya dengan lisan lalu hatinya tidak membenarkan apa yang diucapkan maka dia adalah orang munafiq dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الم, أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan kami beriman lalu tidak diuji. Dan sungguh Kami telah menguji orangorang sebelum mereka, agar Allah benar-benar mengetahui siapa di antara mereka yang jujur dan siapa yang berdusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-2)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiayallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلىَ النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah dengan penuh kejujuran dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan neraka atasnya .”
Syarat Kelima: Cinta
Artinya cinta terhadap kalimat yang besar ini dengan segala konsekuensinya dan mencintai pula orang yang mengamalkan maknanya beserta syarat-syaratnya, juga membenci para penentangnya.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (di mana) mereka cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Orang yang bertauhid akan mencintai Allah dengan kecintaan yang murni. Sebaliknya, orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala namun bersamaan dengan itu juga mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentu hal ini akan menafikan ketauhidannya.
Syarat Keenam: Ketundukan
Ketundukan dan pasrah diri dalam melaksanakan segala konsekuensi kalimat tersebut dengan cara menolak semua jenis kesyirikan yang akan membatalkan ketauhidan.
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
“Dan barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia dalam berbuat baik, maka sugguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)
Syarat Ketujuh: Menerima
Artinya menerima kalimat tersebut dan kandungannya, dengan lisan dan hatinya, beserta segala konsekuensinya dengan menghilangkan sikap penolakan apa yang dituntut oleh kalimat tauhid tersebut.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ, وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan (Ilah) yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 35-37)
Maka jika kita menginginkan kekokohan dalam agama, maka sempurnakanlah pondasi bangunan Islam tersebut. Dan juga hendaknya setiap muslim menerima dakwah kepada tauhid, serta mencintai pada da’inya. Karena sesungguhnya tauhid adalah dakwah para rasul secara keseluruhan, juga dakwah Rasul kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa mencintai Rasul, niscaya dia akan mencintai dakwah kepada tauhid dan barangsiapa membenci kepada dakwah tauhid, maka berarti ia telah membenci Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu Ta’ala A’lam
Maraji’:
- Al-Qowa’id Al-Arba’, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
- Kekokohan Agama dengan Menyempurnakan Pondasinya, Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah hafidzhohullah, www.asysyariah.com
- Kitab At-Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafidzhohullah
- Minhaj Al-Firqoh An-Najiyyah wa Ath-Thaifah Al-Manshurah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah
MAKNA لا إله إلا الله (Bag. II)
Oleh : Ust. Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal, LC
Pertanyaan :
Banyak penafsiran yang muncul di tengah masyarakat tentang makna Laa Ilaaha Illallah. Ada yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan inilah yang paling sering didapati dan dijumpai, tapi timbul pertanyaan dan kebingungan dalam benak banyak orang, kalau itu adalah makna Laa Ilaaha Illallah maka orang-orang Yahudi dan Nashoro serta orang kafir yang lainnya juga mengatakan seperti itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya tidak ada yang ada kecuali Allah dan berbagai makna dan penafsiran yang lainnya. Mohon penjelasan disertai dengan dalil-dalil?
Jawab: (Sambungan dari Bagian I)
Makna Laa Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf
Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah . Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.
Berkata Imam Ibnul Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya, pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan tawakkal (pada-Nya).”
Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.
Berkata Al-Imam Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam.
Lihat : Fathul Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :
Pertama : An-Nafyu (penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah bahkan Rasul yang diutus sekalipun.
Kedua : Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah di antaranya :
وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ لَهـاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).
Kalimat yang agung “Laa Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya, tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya. Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan, perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
Ilmu, keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu
bersama cinta dan ta’at serta menerimanya.
Ditambah (syarat) yang kedelapan (adalah)
pengingkaranmu terhadap sesuatu
selain dari Allah yang telah disembah
Makna-makna yang salah dari makna Laa Ilaaha Illallah
1. Tidak ada yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau diperhatikan maka akan didapati kesalahan pada beberapa sisi. Di antaranya, mereka mengartikan ilah di sini sebagai “yang ada”, sementara yang benar adalah yang “diibadahi”, dan juga makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah Allah maka ini adalah kebatilan yang paling batil sebab lebih kafir dan lebih musyrik dari orang-orang Yahudi dan Nashoro karena Tuhan mereka hanya dua atau tiga sementara orang-orang yang menyatakan seperti ini Tuhannya sangat banyak dan tidak terbatas padahal masih menganggap dirinya orang Islam.
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ada di antara pemimpin pergerakan Islam yang mengartikan seperti ini, bagaimana nasibnya Islam dan kaum muslimin, kalau yang dianggap pemimpin dalam memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah saja keliru padahal kalimat ini yang merupakan asas iman dan asas dakwah maka betapa banyak orang yang tersesat karenanya. Perlu diketahui bahwa makna sesat ini telah dinyatakan oleh para Alhu bid’ah sejak ratusan tahun yang lalu dan alhamdulillah para ulama telah menjelaskan hal ini dalam kitab-kitab mereka. Lihat Kitabul Istighotsah yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
2. Tidak ada pencipta kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau kita perhatikan maka maknanya benar tetapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah. Sebab ilah maknanya “yang diibadahi” bukan bermakna pencipta. Betapa banyak yang mengartikan seperti ini tetapi tidak mau beribadah kepada Allah sebab belum tentu orang yang meyakini hal ini beribadah kepada Allah saja seperti orang-orang musyrik, orang-orang kafir, Ahlul Kitab bahkan sebagian dari kaum muslimin sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman : 25
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah” ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqman : 31/25).
Demikianlah kaum musyrikin mengetahui hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tapi bersamaan dengan itu mereka belum dianggap sebagai seorang muslim bahkan terus menerus mereka diperangi oleh Rasulullah .
3. Tidak ada hakim kecuali Allah. (ARAB)
Kalimat ini juga maknanya benar, tapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah .Sebab ilah sebagaimana yang terdahulu bukan bermakna hakim tetapi maknanya yang diibadahi. Dan makna ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang mau menegakkan syariat Islam (menurut mereka) dan mengkafirkan secara mutlak orang-orang yang menurut mereka tidak mau berhukum dengan hukum Allah .
Sedangkan hukum Allah yang paling agung adalah tauhid lalu bagaimana dengan orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah atau syariat Islam sementara perkara yang paling pokok tidak diperhatikan bahkan kadang disepelekan dan menganggap orang-orang yang mendakwahkan dakwah tauhid adalah pemecah belah umat, tidak tahu keadaan, kuno dan berbagai macam julukan yang lain. Wallahul Musta’an.
Lihat kitab Makna Laa Ilaaha Illallah yang dikarang oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan.
4. Tidak ada yang disembah yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna dan tafsiran ini umumnya dikemukakan oleh sebagian ahli bahasa (dalam kitab-kitab bahasa) yang tidak memahami secara benar makna Laa Ilaaha Illallah. Mereka mendahulukan sisi bahasa semata-mata tanpa memperdulikan sisi syariatnya. Makna ini muncul karena mereka mentakdirkan khobar yang dibuang maujudun atau kainun yang berarti ada, padahal takdir yang benar adalah haqqun sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kemudian dari sisi yang lain, tafsiran ini salah karena kenyataannya ada orang-orang di dunia ini yang menyembah sesembahan lain selain Allah seperti sapi, jin, patung-patung dan lain-lain. Maka tidaklah benar kalau dikatakan yang disembah manusia hanyalah Allah saja. Karena banyak sesembahan yang lain bahkan tak terbatas. Tetapi kita mengatakan tidak ada sesembahan yang benar (haqqun) yang disembah oleh manusia kecuali Allah saja. Artinya penyembahan orang-orang kepada sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah adalah tidak benar/batil.
5. Tidak ada yang mampu untuk mengadakan sesuatu kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini umumnya dimaknakan oleh orang-orang sufi, filsafat dan ahlul kalam, bahkan mereka menyangka itulah puncak tauhid. Makna ini benar dari sisi makna, tetapi kalau Laa Ilaaha Illallah dimaknakan seperti itu tidaklah benar karena ilah bukan maknanya yang mampu untuk menciptakan yang baru tapi yang diibadahi sebagaimana penjelasan pada point nomor 2.
6. Mengeluarkan keyakinan yang pasti dari dzatnya segala sesuatu dan memasukkannya pada dzatnya Allah. (ARAB)
Maka tafsiran ini batil, tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh dan bukan pula yang dimaksud dengannya untuk meyakini ‘Azza Wa Jalla dan mengeluarkan keyakinan dari selainNya karena sesungguhnya ini tidak mungkin karena sesungguhnya keyakinan itu tsabit (tetap) pada selain Allah , sebagaimana firman Allah dalam surah At-Takatsur ayat 6-7 :
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat)”. (QS. At-Takatsur : 102/6-7).
Maka meyakini sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan yang diketahui tidaklah menafikan tauhid.
Dan masih banyak makna yang salah tetapi yang banyak dan menyebar adalah makna-makna yang di atas dan umumnya makna-makna tersebut kembali kepada enam makna di atas. Wallahu A’lam.
بسم الله الرحمن الرحيم
Kalimat لا إله إلا الله (Laa ilaha illallah) dinamakan dengan kalimat tauhid karena dengan kalimat ini orang yang mengucapkannya dianggap sebagai seorang muslim yang bertauhid kepada Allah selama dia tidak melakukan hal-hal yang bisa membatalkan ketauhidannya. Orang yang berada di luar Islam tidak dinamakan muslim yang bertauhid, akan tetapi dinamakan kafir atau musyrik karena dia telah menyekutukan Allah atau mencari tuhan lain selain daripada Allah.
Kalimat لا إله إلا الله bermakna: "Tidak ada sesembahan yang berhak dan patut disembah melainkan Allah semata."
Dalil atas makna ini adalah firman Allah ta'ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan atau Tuhan yang berhak untuk disembah) selain Allah.” [QS Muhammad: 19]
Dan firman Allah :
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah dialah (Tuhan) yang Haq (berhak untuk disembah), dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah itulah yang batil. Sesungguhnya Allah dialah Al ‘Aliyy (Yang Maha Tinggi) lagi Al Kabir (Yang Maha Besar).” [QS Al Hajj: 62]
Makna dan Syarat Laa Ilaaha Ilallah (لا إله إلا الله)
Makna Laa Ilaaha Ilallah menurut para ulama ahlussunnah dari kalangan salaf (terdahulu) sampai sekarang begitu pula para muhaqqiq (ulama peneliti) adalah:
لا معبود بحق إلا الله
(Laa ma’buuda bi haqqin ilaallaah)
“Tidak ada (sesembahan) yang diibadahi dengan benar selain Allah.”
Yaitu beritikad dan berikrar bahwasanya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. Kalimat Laa Ilaaha Illallah ini mengandung makna penafian (نفي /peniadaan) sesembahan selain Allah pada kalimat Laa Ilaaha (لاإله). Kemudian itsbat (إثبات/penetapan) untuk Allah semata pada kalimat Illallah (إلا الله).
Khabar Laa ilaaha illallah harus ditaqdirkan dengan bihaqqin (بحق /yang hak), tidak boleh ditaqdirkan dengan maujud (موجود/ada). Karena ini menyalahi kenyataan yang ada, sebab tuhan yang disembah selain Allah banyak sekali. Hal itu akan berarti bahwa menyembah tuhan-tuhan tersebut adalah ibadah pula untuk Allah. Ini tentu kebatilan yang nyata.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah,
فالعلم بمعناها واجب و مقدم على سائر أركان الإسلام
“Mengetahui makna Laa Ilaaha Illallah adalah wajib dan harus didahulukan dari seluruh rukun Islam yang lainnya.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قال لا إله إلا الله مُخلِصا دخل الجنة
“Barangsiapa mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan keikhlasan hati, pasti ia masuk surga.” (HR. Ahmad, hadits shahih)
Orang yang ikhlas ialah yang memahami Laa Ilaaha Illallah, mengamalkannya, dan menyeru kepadanya sebelum menyeru kepada yang lainnya. Sebab kalimat ini mengandung tauhid (pengesaan Allah), yang karenanya Allah menciptakan alam semesta ini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyeru pamannya Abu Thalib ketika menjelang ajal,
يا عم قل لا إله إلا الله ، كلمة أحاجّ لك بعا عند الله “، و أبى أن يقول لا إله إلا الله
“Wahai pamanku, katakanlah, ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah), seuntai kalimat yang aku akan berhujjah dengannya untukmu di sisi Allah, maka ia (Abu Thalib) enggan mengucapkan laa ilaaha illallah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di Makkah selama 13 tahun, beliau mengajak (menyeru) bangsa Arab:
قولوا لا إله إلا الله ، فقالوا إلها واحدا ! ما سمعنا بهذا ؟
“Katakanlah, ‘Laa Ilaaha Illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah), maka mereka menjawab: “Hanya satu sesmbahan, kami belum pernah mendengar seruan seperti ini?”
Demikian itu, karena bangsa Arab MEMAHAMI makna kalimat ini. Sesungguhnya barangsiapa mengucapkannya, niscaya ia tidak menyembah selain Allah. Maka mereka meninggalkannya dan tidak mengucapkannya (karena kesombongan yang ada pada diri mereka).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada mereka,
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ, وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ, بَلْ جَاءَ بِالْحَقِّ وَصَدَّقَ الْمُرْسَلِينَ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan (Ilah) yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila? ‘Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)’.” (QS. Ash-Shaffat: 35-37)
Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قال لا إله إلا الله و كفر بما يُعبد من دون الله ، حرُم ماله و دمهُ
“Barangsiapa mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallah’ (Tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah) dan mengingkari sesuatu yang disembah selain Allah, maka haram hartanya dan darahnya (dirampas/diambil).” (HR. Muslim)
Makna hadits tersebut, bahwasanya mengucapkan syahadat mewajibkan ia mengkufuri dan mengingkari setiap peribadatan kepada selain Allah, seperti berdo’a (memohon) kepada mayit, dan lain-lainnya.
Ironisnya, sebagian orang-orang Islam sering mengucapkan syahadat dengan lisan-lisan mereka, tetapi mereka menyelisihi maknanya dengan perbuatan-perbuatan dan permohonan mereka kepada selain Allah.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah,
“لا إله إلا الله ” أساس التوحيد و الإسلام ، و منهج كامل للحياة ، يتحقق بتوجيه كل أنواع العبادة لله ، و ذلك إذا خضع المسلم لله ، و دعاه وحده ، و احتكم لشرعه دون غيره
“Laa Ilaaha Illallah adalah asas (pondasi) tauhid dan Islam, pedoman yang sempurna bagi kehidupan. Ia akan terealisasi dengan mempersembahkan setiap jenis ibadah untuk Allah. Demikian itu, apabila seorang muslim telah tunduk kepada Allah, memohon kepadaNya, dan menjadikan syari’atNya sebagai hukum, bukan yang lainnya.”
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah,
“الإله” هو الذي يطاع ولا يُعصى هيبة و إجلالا، و محبة و خوفا و رجاء ، و توكلا عليه ، و سؤالا منه ، و دعاء له ، و لا يصلح هذا كله إلا لله عز و جل ، فمن أشرك مخلوقا في شيء من هذه الأمور التي هي خصائص الإله ، كان ذلك قدحا في إخلاصه في قوله :”لا إله إلا الله “، و كان فيه من عبودية المخلوق، بحسب ما فيه من ذلك”
“Al-Ilaah (الإله) ialah Dzat yang ditaati dan tidak dimaksiati, dengan rasa cemas, pengagungan, cinta, takut, pengharapan, tawakkal, meminta, dan berdo’a (memohon) kepadaNya. Ini semua tidak selayaknya (diberikan) kecuali untuk Allah . Maka barangsiapa menyekutukan makhluk di dalam sesuatu perkara ini, yang ia merupakan kekhususan-kekhususan Allah, maka hal itu akan merusak kemurnian ucapan Laa Ilaaha Illallah dan mengandung penghambaan diri terhadap makhluk tersebut sebatas perbuatannya itu.”
Sesungguhnya kalimat “Laa Ilaaha Illallah” itu dapat bermanfaat bagi yang mengucapkannya, bila ia tidak membatalkannya dengan suatu kesyirikan, sebagaimana hadats dapat membatalkan wudhu seseorang.
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,
أنّ العبادة لا تسمّى عبادة إلا مع التوحيد، كما أنّ الصلاة لا تسمّى صلاة إلى مع الطهارة، فإذا دخل الشرك في العبادة فسدتْ كالحدَث إذا دخل في الطهارة
“Bahwa ibadah tidak teranggap dia ibadah kecuali bila disertai dengan tauhid. Sebagaimana shalat, tidaklah teranggap sebagai shalat kecuali jika disertai dengan bersuci. Karenanya jika ibadah dicampuri syirik, maka rusaklah ibadah itu, sebagaimana rusaknya shalat bila disertai adanya hadats.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من كان آخر كلامه لا إله إلا الله دخل الجنة
“Barangsiapa yang akhir ucapannya Laa Ilaaha Illallah, pasti ia masuk surga.” (HR. Hakim, hadits hasan)
Kesempurnaan suatu bangunan sangatlah bergantung kepada kokohnya pondasi tersebut. Adapun kesempurnaan dalam beragama harus memiliki dasar-dasar yang kuat, dan dasar-dasar tersebut harus pula memenuhi syarat-syaratnya.
Berkata Wahb bin Munabbih sebagaimana dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari, “Setiap kunci memiliki gigi-gigi, dan kunci surga adalah Laa Ilaaha Illallah.”
Beliau juga berkata: “Gigi-gigi kunci tersebut adalah syaratnya, jika engkau membawa kunci yang memiliki gigi niscaya akan terbuka pintunya dan jika tidak memiliki gigi tidak akan dibuka bagimu.” (Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 2)
Kemudian beliau juga menjelaskan, “Laa Ilaaha illallah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi setiap pengikrarnya. Semua syarat tersebut tidak diharuskan untuk dihafalkan tetapi cukup untuk diamalkan kandungannya walaupun tidak dihafal.” (Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulil Mufid hal. 3)
Syarat-syaratnya terhimpun dalam bait syair dibawah ini:
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعَ
مَحَبَّةٍ وَانْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلِ لَهَا
“Ilmu, yakin dan ikhlas berikut kejujuranmu bersama.
Cinta, ketundukan dan kepasrahan menerimanya.”
Syarat Pertama: Mengilmui makna kalimat Laa Ilaha illallah.
Maknanya adalah mengilmui dan mewujudkan di dalam amal karena tidak cukup hanya mengilmui maknanya lalu tidak mengamalkannya. Bukankah orang Kafir Quraisy di masa silam lebih mengetahui maknanya dibanding kaum muslimin di masa sekarang? Namun pengetahuan mereka tentang kalimat yang agung ini tidak menjadikan mereka beriman disebabkan mereka tidak mau mengamalkan apa yang mereka ketahui. Hal tersebut nampak ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru mereka agar mengucapkan Laa Ilaaha Illallah sembari mereka menyangkal.
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Apakah dia (Rasulullah) akan menjadikan sesembahan-sesembahan (ini) menjadi satu? Sesungguhnya ini perkara yang sangat mengherankan.” (QS. Shad: 5)
Tentang syarat ini telah disebutkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firmanNya,
إِلَّا مَن شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Kecuali bagi orang yang mempersaksikan kebenaran dan mereka mengetahuinya.” (QS. Az-Zukhruf: 86)
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan) selain Allah.” (QS. Muhammad: 19)
Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa yang meninggal dan dia mengetahui kalimat La ilaha illallah akan masuk ke dalam surga.”
Syarat kedua: Yakin terhadap makna yang dikandungnya.
Keyakinan yang akan menghilangkan keraguan pada diri seorang muslim. Artinya, yang mengucapkannya meyakini kebenaran, kandungan, dan konsekuensi kalimat tersebut, dengan keyakinan yang pasti dan bukan dengan dugaan belaka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan RasulNya kemudian mereka tidak ragu-ragu padanya dan mereka berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa-jiwa mereka, merekalah orang-orang yang jujur.” (QS. Al-Hujurat: 15)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyaratkan kejujuran iman orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak ada keraguan padanya. Karena ragu dalam keimanan merupakan sifatnya orang-orang munafiq.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَقِيْتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang engkau jumpai di belakang tembok ini, yang mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah, dengan penuh keyakinan dalam hati maka berikanlah kabar gembira dengan surga .”
Sٍyarat Ketiga: Ikhlas
Keikhlasan yang akan memadamkan segala gejolak kesyirikan, kemunafikan, riya’ (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar/populer). Karena ikhlas dalam pandangan agama adalah membersihkan amalan dengan niat yang baik dari segala noda-noda kesyirikan.
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ
“Orang yang paling berbahagia dengan syafaatku kelak pada hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dengan penuh keikhlasan dari hatinya .”
Dari ‘Itban bin Malik, telah bersabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلىَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan neraka bagi orang yang megucapkan Laa Ilaaha Illallah semata-mata mencari wajah Allah.”
Syarat Keempat: Jujur
Kejujuran yang akan menghilangkan sifat dusta. Artinya, orang yang mengucapkan kalimat Laa ilaaha Illallah harus dibenarkan oleh hatinya, karena jika dia mengucapkannya dengan lisan lalu hatinya tidak membenarkan apa yang diucapkan maka dia adalah orang munafiq dan pendusta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الم, أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengucapkan kami beriman lalu tidak diuji. Dan sungguh Kami telah menguji orangorang sebelum mereka, agar Allah benar-benar mengetahui siapa di antara mereka yang jujur dan siapa yang berdusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-2)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiayallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صَادِقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلىَ النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah dan Muhammad adalah rasul Allah dengan penuh kejujuran dalam hatinya, melainkan Allah akan mengharamkan neraka atasnya .”
Syarat Kelima: Cinta
Artinya cinta terhadap kalimat yang besar ini dengan segala konsekuensinya dan mencintai pula orang yang mengamalkan maknanya beserta syarat-syaratnya, juga membenci para penentangnya.
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (di mana) mereka cinta kepadanya sebagaimana cintanya kepada Allah, sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Orang yang bertauhid akan mencintai Allah dengan kecintaan yang murni. Sebaliknya, orang yang menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan mencintai Allah Subhanahu wa Ta’ala namun bersamaan dengan itu juga mencintai selain Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tentu hal ini akan menafikan ketauhidannya.
Syarat Keenam: Ketundukan
Ketundukan dan pasrah diri dalam melaksanakan segala konsekuensi kalimat tersebut dengan cara menolak semua jenis kesyirikan yang akan membatalkan ketauhidan.
وَمَن يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ
“Dan barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dan dia dalam berbuat baik, maka sugguh dia telah berpegang dengan tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)
Syarat Ketujuh: Menerima
Artinya menerima kalimat tersebut dan kandungannya, dengan lisan dan hatinya, beserta segala konsekuensinya dengan menghilangkan sikap penolakan apa yang dituntut oleh kalimat tauhid tersebut.
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ, وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُو آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka, ‘Laa ilaaha illallah (Tiada sesembahan (Ilah) yang berhak disembah melainkan Allah)’, mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata, Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 35-37)
Maka jika kita menginginkan kekokohan dalam agama, maka sempurnakanlah pondasi bangunan Islam tersebut. Dan juga hendaknya setiap muslim menerima dakwah kepada tauhid, serta mencintai pada da’inya. Karena sesungguhnya tauhid adalah dakwah para rasul secara keseluruhan, juga dakwah Rasul kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa mencintai Rasul, niscaya dia akan mencintai dakwah kepada tauhid dan barangsiapa membenci kepada dakwah tauhid, maka berarti ia telah membenci Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu Ta’ala A’lam
Maraji’:
- Al-Qowa’id Al-Arba’, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah
- Kekokohan Agama dengan Menyempurnakan Pondasinya, Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah hafidzhohullah, www.asysyariah.com
- Kitab At-Tauhid, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan hafidzhohullah
- Minhaj Al-Firqoh An-Najiyyah wa Ath-Thaifah Al-Manshurah, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah
MAKNA لا إله إلا الله (Bag. II)
Oleh : Ust. Abu ‘Abdirrahman Luqman Jamal, LC
Pertanyaan :
Banyak penafsiran yang muncul di tengah masyarakat tentang makna Laa Ilaaha Illallah. Ada yang mengatakan tidak ada Tuhan selain Allah dan inilah yang paling sering didapati dan dijumpai, tapi timbul pertanyaan dan kebingungan dalam benak banyak orang, kalau itu adalah makna Laa Ilaaha Illallah maka orang-orang Yahudi dan Nashoro serta orang kafir yang lainnya juga mengatakan seperti itu, dan ada juga yang mengatakan bahwa maknanya tidak ada yang ada kecuali Allah dan berbagai makna dan penafsiran yang lainnya. Mohon penjelasan disertai dengan dalil-dalil?
Jawab: (Sambungan dari Bagian I)
Makna Laa Ilaaha Illallah menurut para ulama salaf
Berkata Al-Wazir Abul Muzhoffar dalam Al-Ifshoh : “Isim “Allah” sesudah “illa” menunjukkan bahwasanya penyembahan wajib (diperuntukkan) hanya kepada-Nya, maka tidak ada (seorangpun) selain dari-Nya yang berhak mendapatkannya (penyembahan itu)… hendaknya kamu tahu bahwa kalimat ini mencakup kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah . Maka tatkala engkau menafikan penyembahan dan ditetapkan kewajiban penyembahan itu kepada Allah subhanahu maka berarti kamu telah kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah”.
Berkata Imam Az-Zamakhsyary : “Al-Ilah termasuk nama-nama jenis seperti Ar-Rajul (seorang lelaki) dan Al Faras (seekor kuda), penggunaan kata Al-Ilah pada segala yang disembah yang hak maupun yang batil. Kemudian kata Al-Ilah itu umum digunakan kepada yang disembah yang benar”.
Berkata Imam Ibnul Qayyim : “Al-Ilah adalah yang Dialah yang disembah oleh hati-hati (manusia) dengan penuh kecintaan, pengagungan, kembali padanya, pemuliaan, pengagungan, penghinaan diri, rasa tunduk, rasa takut, harapan dan tawakkal (pada-Nya).”
Berkata Imam Ibnu Rajab : “Al-Ilah adalah yang ditaati dan tidak didurhakai karena mengagungkan dan memuliakan-Nya, merasa cinta, takut, berharap dan bertawakkal kepada-Nya, meminta dan berdo’a pada-Nya. Dan semua ini tidak boleh kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka siapa yang mengikutsertakan makhluk-Nya pada salah satu dari perkara-perkara yang merupakan kekhususan penyembahan (ibadah) ini maka dia telah merusak keikhlasannya dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah. Dan padanya terdapat peribadatan kepada makhluk (kesyirikan) yang kadarnya sesuai dengan banyak atau sedikitnya hal-hal tersebut terdapat padanya”.
Berkata Al-Imam Al-Baqo`i : “Laa Ilaaha Illallah yaitu peniadaan yang besar dari menjadikan yang diibadahi yang benar selain Raja yang paling mulia karena sesungguhnya ilmu ini, khususnya Laa Ilaahaa Illallah adalah peringatan yang paling besar yang menolong dari keadaan hari kiamat dan sesungguhnya menjadi ilmu jika bemanfaat dan menjadi bermanfaat jika disertai dengan ketundukan dan beramal dengan ketentuannya. Kalau tidak maka itu adalah kebodohan semata”.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh : “Dan ini banyak dijumpai pada perkataan kebanyakan ulama salaf dan merupakan ‘ijma (kesepakatan) dari mereka. Maka kalimat ini menunjukkan penafian penyembahan terhadap segala apa saja selain Allah bagaimanapun kedudukannya. Dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah saja semata. Dan ini adalah tauhid yang didakwahkan seluruh Rasul dan ditunjukkan oleh Al-Qur’an dari awal sampai akhirnya”. Wallahu A’lam.
Lihat : Fathul Majid hal.53-54 cet. Darul Fikr.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :
Pertama : An-Nafyu (penafian) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan seluruh yang disembah apapun jenisnya dan bentuknya dari makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati walaupun malaikat yang dekat dengan Allah bahkan Rasul yang diutus sekalipun.
Kedua : Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya dan perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana seperti orang yang meyakini Allah itu berhak disembah tetapi juga menyambah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah. Dan dua rukun ini banyak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan itulah inti dari semua dakwah Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah di antaranya :
وَ مَا أَرْسَلْنَاَ مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُوْلٍ إِلاَّ نُوْحِيْ إِلَيْهِ أَنَّهُ لآَ إِلهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُوْنِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan kami mewahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya` : 21/25).
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطاَّغُوْتِ وَيُؤْمِنْ باِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ باِلْعُرْوَةِ الْوُثْقاَ لاَ انفِصاَمَ لَهـاَ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thagut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus”. (QS. Al-Baqarah : 2/256).
Kalimat yang agung “Laa Ilaaha Illallah“ tidaklah bermanfaat untuk orang yang mengucapkannya, tidak bisa mengeluarkan dia dari lingkaran kesyirikan, kecuali jika ia mengerti artinya, mengamalkannya serta mempercayainya. Sungguh orang-orang munafiq mengucapkannya, tapi (meskipun demikian ) mereka berada dilapisan terbawah dari neraka karena mereka tidak beriman dengannya dan tidak pula mengamalkannya. Demikian pula yahudi mereka mengucapkannya tapi mereka adalah manusia yang kafir karena tidak mengimaninya . demikian pula para penyembah kuburan dan para wali dari orang-orang kafir ummat ini, mereka mengucapkannya akan tetapi mereka menyalahinya dengan ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan dan aqidah mereka yang menyimpang. Kalimat Laa Ilaaha Illallaah tidak bermanfaat buat mereka dan tidak menjadikan mereka orang-orang islam karena mereka menyalahinya dengan ucapan, perbuatan dan keyakinan mereka . sebagian ulama menyebutkan syarat-syarat Laa Ilaaha Illallaah ada 8, yaitu : Ilmu, keyakinan, ikhlash, jujur, cinta, taat terhadap kandungannya, menerima kandungannya, pengingkaran terhadap apa yang disembah selain Allah, yang tergabung dalam dua bait syair (berikut ini ) :
عِلْمٌ يَقِيْنٌ وَإِخْلاَصٌ وَصِدْقُكَ مَعْ مَحَبَّةِ وَاِنْقِيَادٍ وَالْقَبُوْلُ لَهَا
وَزِيْدَ ثَامِنُهَا الْكُفْرَانُ مِنْكَ بِمَا سِوَى الإِلهِ مِنَ الأَشْيَاءِ قَدْ أُلِهَا
Ilmu, keyakinan dan ikhlash serta kejujuranmu
bersama cinta dan ta’at serta menerimanya.
Ditambah (syarat) yang kedelapan (adalah)
pengingkaranmu terhadap sesuatu
selain dari Allah yang telah disembah
Makna-makna yang salah dari makna Laa Ilaaha Illallah
1. Tidak ada yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau diperhatikan maka akan didapati kesalahan pada beberapa sisi. Di antaranya, mereka mengartikan ilah di sini sebagai “yang ada”, sementara yang benar adalah yang “diibadahi”, dan juga makna ini menunjukkan bahwa semua yang ada adalah Allah maka ini adalah kebatilan yang paling batil sebab lebih kafir dan lebih musyrik dari orang-orang Yahudi dan Nashoro karena Tuhan mereka hanya dua atau tiga sementara orang-orang yang menyatakan seperti ini Tuhannya sangat banyak dan tidak terbatas padahal masih menganggap dirinya orang Islam.
Dan yang lebih mengherankan lagi adalah ada di antara pemimpin pergerakan Islam yang mengartikan seperti ini, bagaimana nasibnya Islam dan kaum muslimin, kalau yang dianggap pemimpin dalam memahami makna kalimat Laa ilaaha illallah saja keliru padahal kalimat ini yang merupakan asas iman dan asas dakwah maka betapa banyak orang yang tersesat karenanya. Perlu diketahui bahwa makna sesat ini telah dinyatakan oleh para Alhu bid’ah sejak ratusan tahun yang lalu dan alhamdulillah para ulama telah menjelaskan hal ini dalam kitab-kitab mereka. Lihat Kitabul Istighotsah yang dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
2. Tidak ada pencipta kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini kalau kita perhatikan maka maknanya benar tetapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah. Sebab ilah maknanya “yang diibadahi” bukan bermakna pencipta. Betapa banyak yang mengartikan seperti ini tetapi tidak mau beribadah kepada Allah sebab belum tentu orang yang meyakini hal ini beribadah kepada Allah saja seperti orang-orang musyrik, orang-orang kafir, Ahlul Kitab bahkan sebagian dari kaum muslimin sebagaimana firman Allah dalam surah Luqman : 25
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka : “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab : “Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah” ; tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqman : 31/25).
Demikianlah kaum musyrikin mengetahui hanya Allah yang menciptakan langit dan bumi. Tapi bersamaan dengan itu mereka belum dianggap sebagai seorang muslim bahkan terus menerus mereka diperangi oleh Rasulullah .
3. Tidak ada hakim kecuali Allah. (ARAB)
Kalimat ini juga maknanya benar, tapi bukan makna Laa Ilaaha Illallah .Sebab ilah sebagaimana yang terdahulu bukan bermakna hakim tetapi maknanya yang diibadahi. Dan makna ini sering dilontarkan oleh orang-orang yang mau menegakkan syariat Islam (menurut mereka) dan mengkafirkan secara mutlak orang-orang yang menurut mereka tidak mau berhukum dengan hukum Allah .
Sedangkan hukum Allah yang paling agung adalah tauhid lalu bagaimana dengan orang-orang yang ingin menegakkan hukum Allah atau syariat Islam sementara perkara yang paling pokok tidak diperhatikan bahkan kadang disepelekan dan menganggap orang-orang yang mendakwahkan dakwah tauhid adalah pemecah belah umat, tidak tahu keadaan, kuno dan berbagai macam julukan yang lain. Wallahul Musta’an.
Lihat kitab Makna Laa Ilaaha Illallah yang dikarang oleh Syaikh Sholeh Al-Fauzan.
4. Tidak ada yang disembah yang ada kecuali Allah. (ARAB)
Makna dan tafsiran ini umumnya dikemukakan oleh sebagian ahli bahasa (dalam kitab-kitab bahasa) yang tidak memahami secara benar makna Laa Ilaaha Illallah. Mereka mendahulukan sisi bahasa semata-mata tanpa memperdulikan sisi syariatnya. Makna ini muncul karena mereka mentakdirkan khobar yang dibuang maujudun atau kainun yang berarti ada, padahal takdir yang benar adalah haqqun sebagaimana penjelasan sebelumnya. Kemudian dari sisi yang lain, tafsiran ini salah karena kenyataannya ada orang-orang di dunia ini yang menyembah sesembahan lain selain Allah seperti sapi, jin, patung-patung dan lain-lain. Maka tidaklah benar kalau dikatakan yang disembah manusia hanyalah Allah saja. Karena banyak sesembahan yang lain bahkan tak terbatas. Tetapi kita mengatakan tidak ada sesembahan yang benar (haqqun) yang disembah oleh manusia kecuali Allah saja. Artinya penyembahan orang-orang kepada sesembahan-sesembahan yang lain selain Allah adalah tidak benar/batil.
5. Tidak ada yang mampu untuk mengadakan sesuatu kecuali Allah. (ARAB)
Makna ini umumnya dimaknakan oleh orang-orang sufi, filsafat dan ahlul kalam, bahkan mereka menyangka itulah puncak tauhid. Makna ini benar dari sisi makna, tetapi kalau Laa Ilaaha Illallah dimaknakan seperti itu tidaklah benar karena ilah bukan maknanya yang mampu untuk menciptakan yang baru tapi yang diibadahi sebagaimana penjelasan pada point nomor 2.
6. Mengeluarkan keyakinan yang pasti dari dzatnya segala sesuatu dan memasukkannya pada dzatnya Allah. (ARAB)
Maka tafsiran ini batil, tidak dikenal oleh para Salafus Sholeh dan bukan pula yang dimaksud dengannya untuk meyakini ‘Azza Wa Jalla dan mengeluarkan keyakinan dari selainNya karena sesungguhnya ini tidak mungkin karena sesungguhnya keyakinan itu tsabit (tetap) pada selain Allah , sebagaimana firman Allah dalam surah At-Takatsur ayat 6-7 :
لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ
“Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin (melihat dengan mata kepala sendiri sehingga menimbulkan keyakinan yang kuat)”. (QS. At-Takatsur : 102/6-7).
Maka meyakini sesuatu yang terjadi dan menjadi kenyataan yang diketahui tidaklah menafikan tauhid.
Dan masih banyak makna yang salah tetapi yang banyak dan menyebar adalah makna-makna yang di atas dan umumnya makna-makna tersebut kembali kepada enam makna di atas. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar