KOTAGEDE, Saksi Bisu Berdirinya Kerajaan Mataram Islam (Abad ke-16)
Pada abad ke-8, wilayah Mataram (sekarang disebut Jogja / Yogyakarta) merupakan pusat Kerajaan Mataram Hindu yang menguasai seluruh Pulau Jawa. Kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa sehingga mampu membangun candi-candi kuno dengan arsitektur yang megah, seperti Candi Candi Prambanan dan Candi Candi Borobudur. Namun pada abad ke-10, entah kenapa kerajaan tersebut memindahkan pusat pemerintahannya ke wilayah Jawa Timur. Rakyatnya berbondong-bondong meninggalkan Mataram dan lambat laun wilayah ini kembali menjadi hutan lebat.Enam abad kemudian Pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Kesultanan Pajang yang berpusat di Jawa Tengah. Sultan Hadiwijaya yang berkuasa saat itu menghadiahkan Alas Mentaok (alas = hutan) yang luas kepada Ki Gede Pemanahan atas keberhasilannya menaklukkan musuh kerajaan. Ki Gede Pemanahan beserta keluarga dan pengikutnya lalu pindah ke Alas Mentaok, sebuah hutan yang sebenarnya merupakan bekas Kerajaan Mataram Hindu dahulu.
Sementara itu, di Kesultanan Pajang terjadi perebutan takhta setelah Sultan Hadiwijaya wafat. Putra mahkota yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Senapati karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Senapati. Pangeran Benawa lalu menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat namun ia sempat berpesan agar Pajang dipimpin oleh Senapati. Sejak itu Senapati menjadi raja pertama Mataram Islam bergelar Panembahan. Beliau tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.
Selanjutnya Panembahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam hingga ke Pati, Madiun, Kediri, dan Pasuruan. Panembahan Senapati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede berdekatan dengan makam ayahnya. Kerajaan Mataram Islam kemudian menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia) dan mencapai puncak kejayaannya di bawah pimpinan raja ke-3, yaitu Sultan Agung (cucu Panembahan Senapati). Pada tahun 1613, Sultan Agung memindahkan pusat kerajaan ke Karta (dekat Plered) dan berakhirlah era Kotagede sebagai pusat kerajaan Mataram Islam.
Peninggalan Sejarah
Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.- Pasar Kotagede
            Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan 
kraton, alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab 
Nagarakertagama yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) 
menyebutkan bahwa pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar 
tradisional yang sudah ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif 
hingga kini. Setiap pagi legi dalam kalender Jawa, penjual, 
pembeli, dan barang dagangan tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya 
memang sudah direhabilitasi, namun posisinya tidak berubah. Bila ingin 
berkelana di Kotagede, Anda bisa memulainya dari pasar ini lalu berjalan
 kaki ke arah selatan menuju makam, reruntuhan benteng dalam, dan 
beringin kurung.
 - Kompleks Makam Pendiri Kerajaan
            Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar 
Kotagede, kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan 
Mataram Islam yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke 
kompleks makam ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura 
memiliki pintu kayu yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa 
abdi dalem berbusana adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
 - Masjid Kotagede
            Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Jogja / Yogyakarta
 yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk
 berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi
 kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan 
sehari-hari masyarakat Kotagede.
 - Rumah Tradisional
            Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam,
 kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau 
berjalan 50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura 
tembok dengan rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar
 budaya". Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah 
tradisional Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi 
sebagai rumah tinggal.
 - Kedhaton
            Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat
 3 Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada 
bangunan kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk
 bujur sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk
 lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE 
WERELD - COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD 
ATERN AM MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE 
QUIDSTPERIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - 
IGM (In Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa 
mengartikannya untuk kami?
Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
 - Reruntuhan Benteng
            Panembahan Senopati membangun benteng dalam 
(cepuri) lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya 
kira-kira 400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa 
dilihat di pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki 
terbuat dari balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan
 bisa dilihat di sisi timur, selatan, dan barat.
 






0 komentar:
Posting Komentar