Di Tanah Toraja ada sebuah ritual atau kebiasaan dalam 
prosesi pemakaman. Cukup unik. Dan, mungkin menyeramkan. Mayat yang 
telah disemayamkan bertahun-tahun di sebuah tebing tinggi dan kuburan 
batu, tiba-tiba jasadnya bangkit. Mayat itu kemudian berjalan mencari 
rumahnya. Setiba di rumah, dia akan tidur lagi. Cerita mayat berjalan 
ini sudah dikenal masyarakat Toraja sejak jaman leluhur. Hingga kini 
ritual tersebut masih ada dan bisa dilihat dengan mata telanjang. 
Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tanah 
Toraja, Sulawesi Selatan. Pertengahan Agustus silam, merupakan hari yang
 mendebarkan. Selain kampung Baruppu diterjang kabut hebat ditambah 
dinginnya angin pagi, hari itu juga menjadi kesibukan warga Baruppu.
Di tengah balai-balai rumah, mereka menggelar sebuah ritual. Mereka 
menyebutnya: Ma’nene. Sebuah ritual untuk mengenang leluhur, saudara dan
 handai taulan yang sudah meninggal. Dari sinilah misteri budaya Tanah 
Toraja terkuak.
Seorang wanita tua terlihat dikelilingi warga. Semua orang memandang 
serius. Siapa wanita itu? Entahlah. Dilihat dari belakang, dia usianya 
kira-kira 60-70 tahun. Sangat tua. Rambutnya tergerai dengan lebat. 
Rambutnya sudah ditumbuhi uban. Dia sama sekali tidak bergerak. Kedua 
tangannya disilangkan ke depan. Wanita tua itu mengenakan pakaian 
kegemarannya: warna biru.
Seluruh kulitnya terlihat kusut. Ada warna putih kecoklat-coklatan. 
Kelihatannya dulu dia pernah mengalami kebakaran sehingga kulitnya 
menjadi begitu. Yang aneh, meski dikelilingi puluhan orang, wanita itu 
tetap tak bergeming. Mematung. Tidak menoleh atau berbicara.
Setelah didekati, alamak, ternyata dia adalah sesosok mayat. Ma’nene,
 begitu kata orang Toraja. Apa itu? Itu adalah mayat yang telah 
diawetkan. Bagi masyarakat Toraja, kematian adalah sesuatu yang 
disakralkan. Bagi mereka, kematian harus dihormati. Mereka yang mati 
biasanya diletakkan di dalam gua. Selama bertahun-tahun didiamkan di 
sana.
Nah, mayat tadi, adalah mayat seorang ibu sekaligus nenek yang telah 
meninggal selama bertahun-tahun. Tapi anehnya, mayat tersebut masih 
utuh. Apakah dia dibalsem? Tidak. Kisah tentang mayat utuh ini sudah ada
 sejak tahun 1905.
Mayat-mayat utuh tersebut pertama ditemukan di sebuah gua di Desa 
Sillanang. Saat ditemukan mayat tersebut tidak busuk, pun sampai 
sekarang. Uniknya, mayat untuh itu tidak dibalsem maupun diberi ramuan. 
Alami.
Menurut Tampubolon, (45), anak ketua adat setempat, kemungkinan ada 
semacam zat di gua itu yang khasiatnya bisa mengawetkan mayat manusia. 
“Kalau saja ada ahli geologi dan kimia yang mau membuang waktu 
menyelidiki tempat itu, sepertinya teka teki gua Sillanang dapat 
dipecahkan,” kata Tampubolon.
Awal Mula Tradisi Ma’nene 
- Mayat berjalan pulang sendiri ke rumah. Tapi sebelumnya harus dihonotis dulu.
 
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong 
Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk 
kawasan hutan pegunungan Balla.
Dikisahkan di tengah perburuan, Pong Rumasek, warga Toraja, menemukan
 jasad seseorang yang meninggal dunia. Jasad itu tergeletak di tengah 
jalan di dalam hutan lebat. Kondisinya mengenaskan.
Tubuhnya tinggal tulang belulang. Hati Pong Rumasek tergugah. Ia ingi
 merawatnya. Jasad itu dibungkus dengan baju yang dipakainya. Setelah 
dirasa aman, Pong Rumasek kemudian melanjutkan perburuannya.
Sejak kejadian itu, setiap kali Pong mengincar binatang buruan, dia 
selalu mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian 
aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman 
pertanian yang ditinggalkan, tiba-tiba panen lebih cepat dari waktunya. 
Bahkan, hasilnya berlimpah.
Sejak itu, setiap kali berburu ke hutan, Pong selalu menemui arwah 
orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut sering diajak 
berburu menggiring binatang.
Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia
 harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. 
Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus,
 setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, upacara pemakaman 
untuk menghormati leluhur, tak lain mendiang Pong Rumasek.
Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat
 kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang 
tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga.
Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan
 yang ditinggal mati tak boleh kawin lagi sebelum mengadakan Ma`nene. 
Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene, status mereka 
masih dianggap pasangan suami istri yang sah.
Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kawin lagi.
Ritual Ma`nene sendiri dilakukan setiap tahun sekali. Ini merupakan 
satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin 
hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada 
setiap warga desa.
Penduduk Desa Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan 
dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, 
gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit 
berkepanjangan.
Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di 
negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih 
menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan 
bangsawan yang bernama Sawerigading.
Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.
Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini 
menetap di kawasan hutan Baruppu dan kawin dengan Dewi Kesuburan Bumi. 
Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, 
mayatnya selalu dikuburkan di liang batu.
Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja
 bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak 
semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. 
Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada 
kesuburan bumi.
Seperti yang dilakukan keluarga besar Tumonglo. Bagi keluarga 
Tumonglo, ritual Ma`nene adalah sakral dan wajib dilakukan. Sejak pagi, 
keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali 
dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian 
besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan
 setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka 
sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang 
diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.
Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari 
Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul 
menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal
 dunia setahun lalu–diturunkan.
Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong.
 Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang 
jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga 
almarhum.
Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang 
batu secara perlahan-lahan. Peti kusam itu berisi jasad nenek Biu. 
Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah 
kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah 
kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk 
mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia 
beberapa tahun lalu.
Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari 
tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain
 baru oleh masing-masing anak cucunya.
Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di 
Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan
 melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, 
masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah 
deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.
Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Patane, semacam kuburan batu atau rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.
Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. 
Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan 
kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur 
semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi 
kebaikan.
Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan 
di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan
 memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. 
Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang 
sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah patane. 
Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.
Menyuruh Mayat Berjalan 
Mayat-mayat yang dimakamkan di kuburan tebing atau kuburan batu 
(patane)–setelah bertahun-tahun berlalu–kemudian diangkat dan 
dikeluarkan. Di situ para kerabat keluarga akan menangis. Tapi ada 
tradisi kuno yang dilakukan warga Toraja, selain    mengeluarkan mayat, 
mereka juga membangkitkan mayat. Lebih unik lagi, mayat tersebut bisa 
disuruh berjalan pulang ke rumah. Hii…ngeri.
Yah, inilah fakta yang terjadi di Tanah Toraja. Dan, mungkin hanya 
ada di tempat ini. Jika selama ini mayat berjalan hanya bisa ditonton di
 film-film yang tidak nyata, maka tradisi mayat berjalan di Tanah Toraja
 benar-benar ada di depan mata dan sangat nyata.
Cerita mengenai mayat berjalan banyak versinya. Versi yang pertama 
menyebutkan, dulu, ratusan tahun sebelumnya pernah terjadi perang 
saudara di Tanah Toraja. Perang itu melibatkan orang-orang Toraja Barat 
dan Toraja Timur.
Dalam peperangan tersebut, Toraja Barat kalah telak. Sebagian besar 
tewas. Tetapi pada saat akan pulang kampung, seluruh mayat Toraja Barat 
bangkit dari kematin. Dan, berjalan. Sedang orang Toraja Timur, walaupun
 hanya sedikit yang tewas, mereka tetap menggotong mayat saudara mereka 
yang mati. Perang itu dianggap seri.
Sementara versi kedua menurut Tampubolon, mayat berjalan kaku dan 
agak tersentak-sentak itu sebenarnya sudah mengakar dari kehidupan masa 
lalu. Dulu, orang-orang Toraja biasa menjelajah daerah-daerah yang 
bergunung-gunung. Di sana banyak ceruk. Dan kemana-mana mereka hanya 
dengan berjalan kaki.
“Dari zaman purba sampai sekarang tetap begitu. Mereka tidak mengenal
 pedati, delman, gerobak atau semacamnya. Dalam perjalanan itu, banyak 
dari mereka yang jatuh sakit dan mati,” cerita Tampubolon.
Nah, supaya mayat tidak sampai ditinggal di daerah yang tidak dikenal
 (orang Toraja sangat menghormati roh orang mati), maka dengan satu ilmu
 gaib (semacam hipnotis), mayat-mayat itu kemudian dapat berjalan 
pulang. Cara demikian dilakukan supaya mayat tidak menyusahkan manusia 
lain. Sebab akan sangat tidak mungkin menggotong terus-menerus jenazah 
sepanjang perjalanan yang makan waktu berhari-hari. Mayat berjalan itu 
baru berhenti bila ia sudah meletakkan badannya didalam rumahnya 
sendiri.
Kendati demikian masih ada satu pantangan, yakni mayat yang berjalan 
tidak boleh disentuh. “Kalau disentuh hopnotisnya akan hilang,” terang 
Tampubolon yang sudah sejak kecil melihat ayahnya menghipnotis mayat 
berjalan.
Pada keturunan selanjutnya, orang-orang Toraja sering menguburkan 
mayatnya dengan cara mayat tersebut berjalan sendiri ke liang kuburnya. 
Begitu pula saat mereka ingin pulang atau dikangeni keluarganya. Di 
rumah, memang telah disediakan satu tempat khusus untuk mayat-mayat 
tersebut. Bila mereka (mayat) pulang, mereka bisa menghuni rumah itu. 
Setiba di rumah mereka akan tidur lagi. Tapi jika mau kembali ke rumah 
sebelumnya, yakni patane, mereka akan berjalan lagi.
Fenomena mayat berjalan juga dituturkan, Ardiansyah (28), warga asli 
Tanah Toraja. Dia mengaku pernah pernah menyaksikan sendiri dengan mata 
telanjang, ada mayat berjalan sendiri.
“Kejadiannya sekitar tahun 1992. Waktu itu saya baru kelas 3 SD. Pada
 saat itu di desa saya ada seorang bernama Pongbarrak yang ibunya 
meninggal. Seperti adat orang Toraja, sang mayat tidak langsung 
dikuburkan tetapi masih harus melalui prosesi adat rambu solo atau penguburan,” jelas Ardiansyah.
Setelah mayat dimandikan, lanjut Ardiansyah, mayat itu kemudian 
diletakkan di tempat tidur dalam sebuah kamar khusus sebelum dimasukkan 
ke peti jenasah. Pada malam ketiga, seluruh keluarga berkumpul untuk 
membicarakan bagaimana prosesi pemakaman yang akan dilaksanakan nanti.
“Saat itu saya duduk di teras rumah, tiba-tiba ada kegaduhan dalam 
rumah. Semua ibu-ibu berteriak. Karena penasaran, saya berusaha melongok
 ke dalam rumah. Dan astaga, mayat ibu Pngbarrak berjalan keluar dari 
kamar,” kenang Ardiansyah.
Ardiansyah menceritakan, saat itu dia dan temannya kontan berteriak 
histeris. Saking takutnya mereka langsung berlari menuruni tangga.
“Saya berlari dan mendapatkan ayah saya sambil berteriak histeris. 
Setelah itu saya langsung dibawa pulang ke rumah dan saya tidak tahu apa
 yang terjadi selanjutnya,” cerita Ardiansyah yang mengaku baru pertama 
kali melihat mayat berjalan.
Keesokan harinya, kejadian tersebut membuat seluruh warga heboh. Dan 
informasi yang diperoleh Ardiansyah, Pongbarrak sengaja melakukan ritual
 tersebut karena dia ingin menghormati ibunya. Cuma pada malam itu, dia 
tidak ingin memindahkan ibuny. Pongbarrak cuma berusaha mempraktekkan 
ilmunya. Sebab konon, jika sang ibu sudah berada di kuburan batu, 
sewaktu-waktu dia akan menarik ibunya kembali untuk diajak pulang. 
Tentunya dengan cara berjalan sendiri.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu soal itu. Yang kami tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu. Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan keluarganya di kuburan batu.
Pada zaman sekarang, diakui Ardiansyah, memang hal itu nyaris tidak pernah terjadi, kecuali orang-orang Toraja yang berada di pedalaman. “Generasi muda seperti saya, malah tidak tahu soal itu. Yang kami tahu, kalau orang mati itu akan diletakkan di kuburan batu. Mereka bisa awet hingga bertahun-tahun,” jelas Ardiansyah yang mengaku pernah memakamkan keluarganya di kuburan batu.
Cuma, yang dibingungi Ardiansyah, adalah mayat berjalan. Menurutnya 
tradisi itu bukan sembarangan dilakukan oleh orang Tanah Toraja. Mereka 
yang bisa melakukan itu sebelumnya memiliki ilmu tertentu yang 
diturunkan dari guru-gurunya atau sesepuh adat.
“Itu ilmu kuno. Di jaman sekarang tak banyak orang bisa melakukan itu,” kata Ardiansyah.
Ardiansyah menambahkan, dia dulunya juga pernah diajari kakeknya. 
Tapi karena membangkitkan mayat dirasa ngeri, maka dia urung mempelajari
 ilmu tersebut.
Biasanya, orang yang memiliki ilmu membangkitkan orang mati, mereka 
awalnya mempraktekkan pada binatang seperti ayam atau kerbau yang diadu 
dalam keadaan leher terputus.
“Binatang seperti kerbau yang sudah dipotong kepalanya dan dikuliti 
habis pun, jika diberi mantera-mantera atau ilmu gaib Tanah Toraja, 
mereka masih bisa dibuat berdiri dan berlari kencang, mengamuk ke sana 
sini,” kutip Ardiansyah yang mengaku bangga dengan adat leluhurnya.
Meski begitu, tradisi Tanah Toraja menjalankan mayat dari rante 
(tempat persemayaman) ke patane, diakui Ardiansyah, hanya bisa dilakukan
 oleh masyarakat Toraja. Mayat-mayat tersebut dapat berjalan karena 
doa-doa yang dipanjatkan ke leluhur dan arwah almarhum.
Sayang, ritual ini perlahan mulai ditinggalkan. Sebab masyarakat 
Toraja telah banyak yang memeluk agama samawi. “Ritual Ma’nene 
sebenarnya tidak hilang, cuma jarang dipakai saja. Tapi bila mau masuk 
ke pelosok desa, ritual mayat berjalan masih tetap dijalankan. Sebab 
warga Toraja masih percaya dengan hal-hal mistik. Dan karena mereka 
ingin menjaga kekhasan budaya leluhur agar tidak hilang.






0 komentar:
Posting Komentar