Pages

Rabu, 11 September 2013

VAKSIN H5 N1 PERLU DI TELITI KEMBALI

TEMPO.CO, Surabaya - Mohammad Yusup Alamudi, 32 tahun, berhasil menggondol gelar doktor termuda di lingkungan kampus Universitas Airlangga. Dihadapan 10 penguji, Yusup mampu mempertahankan desertasinya dengan baik dan mendapat predikat cumlaude.
Yusup menyajikan desertasi berjudul »Mekanisme Proteksi dan Daya Hambat Vaksin Flu Burung H5N1-RG Unair Terhadap Virus Flu Burung Sub Clade 2.1.3”. Ia berhasil membuktikan produk vaksin yang beredar di Indonesia belum cukup aman digunakan.
Semua penguji mengaku baru mengetahui efektivitas temuan Yusup setelah dipaparkan panjang lebar. "Vaksin H5N1 harus perlu diteliti lagi, apalagi korban flu burung di Indonesia paling banyak. Penelitian ini pakai teknologi 2 dimensi," kata Yusup usai mengikuti ujian terbuka doktoral di aula Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Selasa, 10 September 2013.
Pria yang menderita polio sejak usia 2 tahun itu mengatakan, hasi risetnya merupakan langkah awal menuju perubahan paradigma yang lebih baik. Saat ini, pemerintah cenderung memakai penelitian 1 dimensi untuk produk vaksin impor.
Vaksin tersebut bukannya tidak aman, tapi vaksin yang beredar saat ini ditemukan ada komponen antigen dan antibodi yang lepas. Padahal vaksin untuk manusia wajib zero tolerance. Artinya, ada kelemahan hasil penelitian vaksin lewat teknologi 1 D karena masih memberi ruang untuk berpisah antar protein. Semua vaksin bisa diteliti menggunakan teknologi 2 D.
Sehari-hari Yusup adalah peneliti di Pusat Penelitian Flu Burung (AIRC) Unair yang fokus meneliti virus flu burung. Di bawah asuhan Direktur AIRC, Chairul Anwar Nidom, Yusup berjibaku menciptakan varian virus flu burung. Keterbatasan fisik tak menghalangi Yusup menyelesaikan program doktoralnya. "Alhamdulilah bisa menyandang doktor termuda di Unair. Semua atas bantuan berbagai pihak," katanya.
Ketua penguji, Teddy Ontoseno, mengatakan salut melihat perjuangan Yusup yang memiliki semangat meski dihadapkan dengan keterbatasan fisik. Selain berhasil menyandang doktor termuda di Unair, Teddy menegaskan riset Yusup bisa diterapkan dan tepat guna.
Unair menyarankan pemerintah mulai mengubah riset 1 D untuk semua macam vaksin. Sebab, riset 1 D masih memberi ruang kelemahan dari vaksin yang dihasilkan. "Apalagi kita masih impor vaksin sebanyak 60 persen. Ini bahaya, ternyata vaksin impor tidak menjamin aman,

0 komentar:

Posting Komentar