Tahukah Anda berapa harga yang harus dibayar Timor Leste kepada Australia agar bisa merdeka dari Indonesia?
Quinton Temby, freelance correspondent Deutsche Welle dan Radio 
Australia di Timor Leste pada tahun-tahun awal sejak negeri itu merdeka,
 punya cerita menarik soal ini. Cerita dimulai dari sebuah ruang 
konferensi internasional tentang keamanan regional di Dili, dua tahun 
setelah Australia melepaskan Timor Leste dari pangkuan Indonesia.
Hampir seluruh pejabat tinggi Timor Leste keluar dari ruang sidang 
dengan wajah frustrasi. Bukan tindakan milisi Indonesia -- yang 
menghancurkan seluruh infrastruktur dan desa setelah jajak pendapat 
penuh muslihat melepaskan wilayah itu dari Indonesia -- yang membuat 
mereka frustrasi, tapi Australia.
Australia memposisikan diri menjadi pihak yang 'harus' menerima manfaat 
terbesar dari perannya memerdekakan Timor Leste. Caranya, dengan meminta
 bagian terbesar cadangan minyak dan gas alam Laut Timor.
Seorang pejabat Timor Leste meratap kepada delegasi Australia. 
"Australia negara kaya, Timor Leste sangat miskin. Pembagian ini sangat 
tidak adil."
Delegasi Australia tak bergeming. Pejabat Timor Leste itu melanjutkan 
ratapannya; "Sulit bagi kami memberi tahu rakyat bahwa kolonisasi tidak 
akan pernah berakhir, bahkan saat kami telah mencapai kemerdekaan."
Kali ini, ratapan pejabat Timor Leste mendapat tanggapan. Allan Dupont, 
mantan diplomat dan anggota delegasi Australia, mengatakan; "Sayangnya, 
hubungan internasional tidak didasarkan pada emosi atau ekuitas, tapi 
pada hard-nose reality (1)."
Orang Timor Timur tidak pernah tahu semua ini. Jika mereka tahu, mungkin
 mereka akan menolak tutorial politik Australia, dan tidak pernah 
merdeka, atau memilih tetap bersama Indonesia.
Timor Timur, yang kemudian menjadi Timor Leste, merdeka pada 20 Mei 2002
 dan menjadi negara termiskin di Asia. Mereka sama miskinnya dengan 
Rwanda, dan harus ketergantungan tak sehat kepada bantuan asing.
Kesempatan mereka untuk keluar dari kemiskinan sangat tergantung pada 
kemampuan mereka mengelola cadangan gas dan minyak di Celah Timor. 
Namun, Australia ingin menguasai sebagian besar cadangan itu.
Laut Timur adalah wilayah sengketa. Canberra mengklaim dasar Laut Timor 
sebagai bagian dari landas kontinen Australia, yang membentang ke Palung
 Timor -- atau hanya 50 mil laut dari bibir pantai Timor Leste. Dili 
menentang klaim itu, dan berkeras pada prinsip garis tengah antara kedua
 negara.
Jika klaim Canberra diterima, Australia dipastikan menguasai 70 persen 
cadangan minyak dan gas bumi Celah Timor, yang membuat Timor Leste tidak
 memiliki harapan untuk hidup makmur.
Tidak ada kesepakatan yang diteken pada hari pertama konferensi. Namun 
pada hari yang sama PM Mari Alkatiri mengatakan Timor Leste masih 
mengklaim hak batas maritim permanen, meski perjanjian telah 
ditanda-tangani. Perjanjian Laut Timor ini membuat prizefight -- atau 
hadiah pertarungan memperebutkan sumber daya antara negara miskin dan 
kaya -- menjadi resmi.
Menerima klaim Australia tidak ubahnya bunuh diri berdaulat bagi Timor 
Leste. Di sisi lain, Australia menganggap klaim Timor Leste meresahkan 
Canberra, berkaitan dengan ketakutannya kepada Indonesia.
Ketakutan Australia kepada Indonesia terungkap beberapa hari setelah 
pembicaraan batas wilayah maritim Timor Leste-Australia. Saat itu Menlu 
Alexander Downer mengatakan; "Batas maritim Australia-Indonesia mencakup
 ribuan kilometer. Itu masalah besar, dan kami tidak akan terjerumus ke 
permainan renegotiating Indonesia."
Australia masih punya alasan lain untuk takut jika menerima klaim Timor 
Leste. Sebelum perjanjian ditekan, PetroTimor -- sebuah perusahaan 
minyak yang berbasis di AS -- berupaya mendapatkan hak menambang di 
Celah Timor. PetroTimor menunjuk Vaughan Lowe, profesor Hukum 
Internasional Universitas Oxford, dan Cristopher Carleton -- kepala 
Divisi Hukum laut di kantor Hidrografi Inggis, untuk membentuk opini 
publik.
Lowe mengatakan perjanjian yang dipaksakan Australia akan mencegah Timor
 Leste menetapkan batas-batas maritim yang sah sesuai hukum 
internasional. PetroTimor mendesak Timor Leste membatalkan perjanjian 
itu dan menyerahkan sengketa Celah Timor ke Mahkamah Internasional. 
PetroTimor bersedia mendanai perjuangan ini. Sebagai imbalannya, 
PetroTimor akan memberikan 10 persen dari pendapatan minyak dan gas bumi
 di Celah Timor jika berhasil.
Pemerintahan Trasisi PBB di Timor Leste menolak tawaran itu. Alasannya, 
argumen legal kedua pihak atas Celah Timor harus ditangani secara 
serius.
Dua hari sebelum PetroTimor mempublikasikan tawarannnya di Dili, 
Australia diam-diam berusaha agar sengketa batas wilayah dengan tetangga
 miskinnya tidak dibawa ke Pengadilan Hukum Laut Internasional dan 
Mahkamah Internasional. Australia tahu jika usul PetroTimor 
dipublikasikan, hampir semua negara akan menyerang Ausralia.
Canberra juga tidak ingin sengketa batas wilayah diselesaikan lewat 
litigasi, tapi lewat negosiasi. PM Alkatiri frustrasi, dan menyebut 
tindakan Australia sangat tidak bersahabat.
Di bawah ancaman arbitrase internasional, dan tekanan agar Timor Leste 
membayar semua dana yang dikeluarkan Bank Dunia dan negara donor selama 
pemerintahan transisi, Australia secara hebat memaksa Dili 
menandatangani perjanjian tak adil.
Dili sempat berreaksi dengan menahan dua pengacara yang didanai PBB. 
Australia memiliki tim pengacara, penasehat, dan perunding hebat. Pada 
satu kesempatan, di bawah komando Menlu Alexander Downer, menggeruduk 
gedung pemerintahan Timor Leste dan menerobos masuk ke ruang kabinet.
Dalam transkrip rahasia yang bocor, Downer -- dengan kesombongon tuan 
kulit putih pembantai Aborigin -- mengatakan; "Jika saya jadi Anda, saya
 akan fokus bagaimana memperoleh pendapatan untuk negara Anda yang baru 
dan miskin, tanpa mengkompromikan integritas. Menyebut kami kerbau besar
 adalah sesuatu yang aneh. Kami mengeluarkan Timor Timur dari Indonesia 
tanpa memperoleh keuntungan ekonomi."
PM Alkatiri nyaris mengundurkan diri, akibat tidak ada niat Australia 
menyetujui batas maritim yang diinginkan. Alkatiri mencoba cara lain, 
yaitu dengan meminta bagian lebih dari hasil eksploitasi minyak dan gas 
bumi.
Downer menolak dengan, sekali lagi khas kesombongan kulit putih, dengan 
mengatakan; "Kami tidak harus menggali cadangan minyak itu. Seluruh 
kekayaan alam itu bisa tidak digali sampai 20, 40, atau 50 tahun. Kami 
tidak peduli Anda membocorkan informasi ini ke media. Biarkan kami 
memberikan tutorial politik, bukan kesempatan."
Bagi semua orang Timor Timur, seluruh sejarah mereka -- terhitung sejak 
invasi Indonesia -- adalah tutorial politik buram yang ditulis 
Australia. Dimulai ketika Richard Woolcott, saat itu Dubes Australia 
untuk Indonesia, mendorong Canberra untuk menerima invasi Indonesia ke 
Timor Timur.
Woolcott, dalam kawat rahasia yang bocor, mengatakan semua itu demi 
kepentingan ekonomi jangka panjang. Merundingkan batas-batas maritim, 
terutama Celah Timor, dengan Indonesia akan lebih mudah ketimbang dengan
 orang Timor Timur.
Prediksi Woolcott benar. Tahun 1989, Australia dan Indonesia menandatangani Perjanjian Celah Timor.
Bagi pendukung kemerdekaan Timor Leste, perjanjian itu merupakan titik 
terendah dukungan Australia terhadap perjuangan rakyat bekas jajahan 
Portugis itu. Xanana Gusmao, pemimpin gerilyawan Timor Timur, menyebut 
perjanjian itu sebagai pengkhianatan Canberra.
"Australia telah menjadi kaki tangan pelaku pembunuhan rakyat Timor 
Timur. Mereka hanya ingin aman, dengan membiarkan aneksasi Timor Timur,"
 demikian Gusmao.
Bagi Australia, Perjanjian Laut Timor adalah kesepakatan ekonomi yang 
menguntungkan bagi kedua negara, dan merupakan harga yang layak 
dibayarkan rakyat Timor Leste kepada Canberra. Di sisi lain, ketika 
Timor Leste terus menerus mengatakan perjanjian itu tidak adil, 
Australia menyebut pernjanjian itu sebagai harga yang murah yang harus 
diterima.
Menurut Canberra, Timor Leste mendapat 90 persen dari pendapatan Bayu 
Undan -- sumur minyak dan gas yang digali Conoco Phillips. Proyek ini 
bernilai 3 milyar dolar untuk masa 15 tahun, dan mulai berproduksi pada 
tahun kedua kemerdekaan Timor Leste.
Penghasilan dari Bayu Undan diperkirakan membuat Dili mampu membayar seluruh utangnya, dan tidak lagi terjerat utang baru.
Namun, di luar Bayu Undan -- atau kawasan pengembangan bersama Timor 
Leste dan Australia -- ada wilayah yang jauh lebih besar, yaitu Greater 
Sunrise. Wilayah ini dikelola sendiri oleh Woodside Australian Energy. 
Sebanyak 82 persen penghasilan Greater Sunrise masuk ke kantong 
Australia. 
Jika minyak bukan motivasi Australia melepas Timor Timur dari Indonesia,
 Canberra sudah meminta bayaran atas kesediaannya mengirim pasukan 
perdamaian. Atau, jika memang tidak ada yang diburu Australia, negeri 
itu seharusnya sudah hengkang ketika jajak pendapat usai.
Banyak pihak mencium niat busuk Australia, mencuri minyak Timor Leste, 
mengintervensi Timor Timur. Mereka mendapatkannya pada tahun pertama 
negeri bekas jajahan Portugis itu merdeka, yaitu ketika Woodside memompa
 minyak di kawasan sengketa, yaitu Laminaria dan Corallina. Nilainya 
ditaksir mencapai miliaran dollar.
Rincinya, antara 1999 sampai 2002, Australia mengeruk 1,2 miliar dolar 
AS dari Laminaria dan Corallina, dan memberi bantuan 200 juta kepada 
Timor Timur. Yang harus diingat, bukan 'bagian', tapi 'bantuan'.
PM Alkatiri mengatakan Perjanjian Laut Timor bersifat sementara, sampai 
kedua negara menyepakati batas maritim. Sementara adalah kata yang tak 
jelas, karena tidak ada batas waktu dalam perjanjian itu.
Orang Timor Leste mungkin akan mengatakan batas perjanjian sementara itu
 adalah sampai seluruh sumur minyak di dasar Laut Timor kering. Selama 
minyak dari Laut Timor mengalir, Australia akan terus memberikan bantuan
 jutaan dolar kepada Timor Leste dengan tangan kiri, dan meraup miliaran
 dolar dengan tangan kanan.
Pada akhirnya, nasib Indonesia dan Timor Leste tidak berbeda. Indonesia 
harus menebus kemerdekaan dengan membayar seluruh utang Hindia-Belanda 
ke kreditor asing. Timor Leste membayar mahal kemerdekaannya dengan 
satu-satunya kekayaan alam yang memberikan janji kemakmuran, sampai 
waktu tak terbatas.
(1) Hard-nose reality adalah kata lain dari visi bisnis. Hubungan 
internasional tidak pernah didasarkan pada kepentingan politik, tapi 
bisnis jangka panjang. Bagi Australia, melepaskan Timor Timur dari 
Indonesia adalah proyek ekonomi jangka panjang. Canberra bersedia 
mengeluarkan dana berapa pun untuk mengerahkan pasukan, dan memberi 
makan rakyat negeri itu, dengan harapan bisa menguasai 90 persen 
cadangan minyak di Celah Timor.