Hari ini DetikFinance melaporkan adanya pesan berantai yang mengajak kita semua untuk tidak melunasi kartu kredit kita. Menurut saya ini adalah pesan hoax yang tidak bertanggung jawab. Mari kita telaah satu per satu pesan berantai tersebut.
Hutang kartu kredit dan KTA bersifat tidak mengikat para pemegangnya dan tidak ada Undang-undangnya, tidak diwariskan, tidak dapat dipindahtangankan (artinya tidak bisa ditagihkan kepada orang lain), tidak boleh menyita barang apapun dari anda, surat hutang tidak boleh diserahkan kepada pihak lain atau diperjualbelikan, dsb.
Tentu saja segala macam hutang bersifat mengikat. Jika tidak mengikat, tidak akan ada yang mau meminjamkan uang. Sebagaimana hutang lainnya, hutang kartu kredit juga diwariskan jika penghutang meninggal dunia. Tidak ada aturan yang mengatur tentang hal ini bukan berarti hutang kartu kredit tidak diwariskan. Hutang juga bisa dialihkan ke pihak lain, baik dari sisi peminjam, maupun yang meminjamkan, tentunya atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam kasus kartu kredit dan KTA, nasabah telah menyetujui hal tersebut pada saat mengaktifkan kartu kredit.
Salah satu miskonsepsi yang meluas adalah bahwa pihak bank tidak dapat menyita barang milik nasabah jika terjadi kredit macet pada KTA atau kartu kredit. Kenyataannya bank tetap dapat memailitkan nasabah dan menyita aset-aset milik peminjam melalui keputusan pengadilan. Perbedaan KTA atau kartu kredit dan kredit dengan agunan adalah pada kredit dengan agunan, pada saat perjanjian kredit disebutkan secara khusus barang yang dijaminkan. Ketika terjadi gagal bayar, maka sampai batas-batas tertentu, barang yang disita hanya barang yang dijaminkan.
Ada klausul yang disembunyikan oleh pihak penerbit kartu kredit bahwa jika pemegang kartu kredit sudah tidak mampu membayar maka hutang akan ditanggung penuh oleh pihak asuransi kartu kredit visa master, bahkan untuk beberapa bank asing tanggungan penuh asuransi itu mencapai limit 500 juta.
Bisa saja penerbit kartu kredit menyerahkan resiko gagal bayar terhadap pihak ketiga, tapi inipun belum tentu demikian. Selain itu, menyerahkan resiko kepada pihak ketiga tentunya juga harus dengan kompensasi kepada pihak ketiga tersebut. Imbalan ini dinamakan premi. Masalah ini sebenarnya hanyalah teknis manajemen resiko. Peminjam bisa memilih untuk mengelola resiko sendiri, maupun menyerahkan resiko kepada pihak ketiga.
Resiko gagal bayar merupakan resiko yang harus ditanggung yang meminjamkan uang, bank maupun bukan bank. Oleh bank, resiko ini dikompensasikan kembali ke nasabah, misalnya dalam bentuk bunga yang lebih tinggi, biaya rutin, maupun biaya yang dikenakan ke penjual (merchant). Jika resikonya tinggi, maka bunga dan overhead lainnya juga akan menjadi lebih tinggi.
Biaya-biaya ini ditanggung oleh nasabah kredit secara keseluruhan. Jadi yang menanggung biaya resiko gagal bayar ini adalah seluruh nasabah, termasuk yang baik-baik, bukan cuma yang gagal bayar.
Adalah oknum bank bagian kartu kredit yang menyerahkan atau bahkan melelang tagihan hutang kartu kredit macet itu ke pihak ketiga atauĆ debt collector untuk ditagihkan kepada pemegang kartu kredit yang macet. Dari informasi yang didapat dari para mantan orang kartu kredit bank swasta dan asing, maka sebenarnya uang itu tidaklah disetorkan ke bank karena memang hutang itu sudah dianggap lunas oleh asuransi tadi. Jadi uang yang ditarik dari klien pemegang kartu kredit yang macet itu dibagi dua oleh para oknum bank danĆ debt collector. Jadi selama ini rakyat dihisap oleh praktek bisnis ilegal seperti ini yang memanfaatkan ketidaktahuan nasabah dan penyembunyian klausul penggantian asuransi hutang kartu kredit.
Menurut saya sah-sah saja bank (atau siapa saja) menyerahkan atau melelang hutang kartu kredit kepada pihak lain. Tentunya atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam kasus kartu kredit, nasabah telah menyetujuinya dalam perjanjian ketika nasabah menandatangani dan mengaktifkan kartu kredit.
Yang salah dalam praktik penagihan kartu kredit di Indonesia bukan masalah balik nama hak untuk menagih hutang, tetapi bahwa bank atau penagih menggunakan cara-cara preman dalam menagih haknya. Padahal seharusnya mereka dapat melakukannya melalui gugatan pailit lewat pengadilan.
Surat kwitansi cicilan hutang dari klien ke pihakĆ debt collector pun banyak yang bodong alias buatan sendiri dan bahkan surat lunas pun dibuat sendiri dengan mengatasnamakan bank.
Yang ini saya tidak berkomentar.
Bahkan di Jakarta dan Cimahi, saya menemukan kasus dimana ada 1 orang (cimahi) telah melunasi hutangnya 5 tahun lalu sebesar 10 juta kepada pihak kartu kredit BNI 46. Namun bulan agustus 2009, dia didatangi oleh debt coll dan memaksa meminta surat lunas dari bank tersebut. Kemudian bulan september 2009, dia didatangi lagi.
Dalam beberapa kasus, hubungan antara bank dan penagih (debt collector) adalah sebagai berikut. Ketika sebuah pinjaman dinilai telah macet dalam batasan tertentu, bank menjualnya kepada penagih dengan nilai di bawah nilai pinjaman. Penagih membeli hutang tersebut dengan harapan dia dapat memaksa peminjam untuk melakukan pembayaran dengan jumlah di atas uang yang telah dikeluarkan untuk membeli hutang tersebut dari bank.
Masalahnya di sini adalah bahwa biasanya pihak bank tidak menginformasikan kepada nasabah bahwa hutangnya telah diambil alih oleh pihak penagih. Jadi nasabah tidak tahu persis ke pihak mana dia bertanggung jawab. Jika tidak ada pemberitahuan, maka dalam sudut pandang nasabah, dia tetap bertanggung jawab kepada bank, bukan kepada penagih. Jika nasabah melakukan pembayaran kepada bank, padahal hutang tersebut telah dialihkan kepada penagih, maka seharusnya bank menyerahkan setoran tersebut kepada penagih.
Di sini urusannya memang menjadi sangat rumit. Dibutuhkan kelengkapan administrasi dari pihak peminjam untuk menghindari kesalahpahaman yang sebenarnya bukan kesalahan nasabah.
Masalah perbankan di Indonesia memang belum sempurna, namun hal tersebut bukan alasan untuk nasabah untuk menghindari kewajibannya kepada bank.
0 komentar:
Posting Komentar