(VIVAnews / Renne Kawilarang)
Memang Tidak salah bila APEC CEO Summit di Bali menghadirkan Tan Sri Anthony Francis "Tony" Fernandes sebagai salah satu pembicara di forum yang diikuti lebih dari 1.200 eksekutif dan tokoh pemikir dunia selama 5-7 Oktober 2013.
Di salah satu sesi, bersama sejumlah pengusaha top dunia, Fernandes berbicara mengenai potensi konektivitas di kawasan Asia Pasifik berdasarkan reputasinya sebagai Kepala Eksekutif Korporat Grup AirAsia, salah satu maskapai terkemuka Asia.
Pebisnis asal Malaysia berusia 49 tahun itu tidak saja sukses membesarkan AirAsia selama 20 tahun terakhir, namun juga memelopori pasar layanan penerbangan berbiaya murah di Asia Tenggara, yang kini menjadi tren bisnis. "Ini merupakan pasar yang besar. Masih ada ruang untuk berkembang," kata dia.
Berbicara di APEC CEO Summit, Fernandes mendukung kampanye meningkatkan keterhubungan di kalangan anggota APEC. Ini karena, sebagai pelaku bisnis layanan penerbangan, Fernandes turut mendorong kebijakan "open sky" di negara-negara Asia Tenggara, yang memudahkan pelaku industri jasapenerbangan untuk berkembang dan memperluas rute sehingga makin banyak orang berkesempatan untuk bepergian dengan pesawat terbang dengan biaya terjangkau
Sesuai menjadi pembicara di forum megah APEC CEO Summit, yang berlangsung di Bali International Convention Center di Nusa Dua, Bali, 7 Oktober 2012, Fernandes sangat antusias berbincang dengan jurnalis VIVA Media Group (ANTV, TVone, dan VIVA.co.id) mengenai pandangannya soal kerjasama APEC dan ekspansi bisnis Air Asia, termasuk mengenai para kompetitornya.
Dia punya "mantra" yang selalu dia ingkatkan kepada para pegawainya, KISS. Keep It Simple, Stupid. "Soalnya, banyak orang suka memperumit suatu hal, birokrasi pun dibikin rumit," ujar Fernandes.
Walau memiliki aset kekayaan senilai US$625 juta, menurut majalah Forbes, Fernandes mengaku lebih suka tampil bersahaja, seperti memakai celana jeans dan kaos berkerah bila bekerja. "Ini hanya karena KTT APEC saja saya harus tampil berkemeja batik yang rapih dan bagus," selorohnya.
Berikut petikan wawancara dengan Fernandes:
APEC membicarakan banyak hal menyangkut liberalisasi perdagangan dan investasi. Namun, sebagai pebisnis, apakah Anda melihat APEC telah menyentuh hal-hal yang konkret?
Menurut saya kita telah membuat banyak kemajuan. Contohnya ke skala yang lebih kecil adalah ASEAN (Asia Tenggara). Mantra perusahaan kami adalah membuat ASEAN jadi lebih terhubung. Keterhubungan ini bisa diperluas ke kawasan Asia Pasifik seperti APEC, walaupun fokus kami saat ini lebih pada Asia.
Jadi sudah banyak kemajuan, namun seharusnya bisa dicapai kemajuan yang lebih banyak lagi. Bila keterhubungan ini sudah melanda kota-kota besar, tidak demikian halnya di kota-kota kecil yang koneksinya masih buruk.
Menurut saya, Asia kini sudah berkembang sangat pesat, termasuk Indonesia, sehingga tingkat permintaan di kawasan ini melebihi persediaan. Buktinya, bandara-bandara yang sudah ada kini selalu penuh. Contohnya Cengkareng (Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Banten).
Pemerintah harus menyadari itu. Jakarta perlu lebih dari satu bandara komersil, seperti London kini sudah punya empat bandara. Untuk pergi dari utara ke selatan Jakarta saja sudah ibarat pergi dari utara ke selatan Malaysia. Jakarta memang sungguh luas.
Jadi menurut saya, masalah itu perlu ditanggapi oleh pemerintah di kalangan ASEAN. Saya pun yakin kita masih perlu menambah rute penerbangan baru dan membuat ASEAN benar-benar menerapkan kebijakan Open Sky.
Open Sky mungkin akan mulai berlaku di ASEAN pada 2015, menurut Anda, Indonesia sudah siap menerapkannya?
Menurut saya sudah harus siap, kalau tidak, tidak akan berkembang. Namun kebijakan ini harus dilandasi manajemen yang matang, kendali lalu lintas udara yang lebih baik. Apalagi jadwal penerbangan per jam ke Bandara Cengkareng makin banyak, maka harus siap.
Ini bukan masalah layanan dari Jakarta ke Bangkok, atau Singapura ke Kuala Lumpur, namun ke banyak kota lain. Jadi kami masih harus membangun jaringan yang lebih luas lagi.
Berbicara mengenai maskapai berbiaya murah, ini merupakan layanan yang populer di Indonesia. Seberapa ketat persaingan di layanan penerbangan murah ini?
Ini merupakan pasar yang besar. Bila sukses, kami akan menarik para kompetitor. Pasarpenerbangan ini tidak bisa dimainkan satu maskapai saja, karena ada tiga miliar orang di Asia dan lebih dari 200 juta orang di Indonesia dengan belasan ribu pulau. Negeri ini saja begitu luas.
Jadi, ini pasar yang besar. Dalam menerobos pasar penerbangan ini, kami menerapkan strategi berbiaya terjangkau bagi masyarakat luas seperti di Indonesia. Lalu, kami juga menawarkan produk yang berkualitas baik. Berbiaya murah bukan berarti berkualitas rendah.
Saya berharap Air Asia akan menaikkan nilai tambahnya, baik dari segi pesawat, layanan, dan produk lain. Jadi, ada elemen kepercayaan dari konsumen yang harus dibangun dan butuh sepuluh tahun bagi kami mendapat kepercayaan itu.
Jadi kebijakan Open Sky akan lebih menguntungkan banyak negara Asia?
Ya. Jadi, dengan mengambil contoh ASEAN, para anggota APEC memperlakukan ASEAN sebagai satu kesatuan. Maskapai China atau India melihat ASEAN sebagai satu kesatuan, contohnya.
Namun, di dalam ASEAN sendiri, kami masih melihat diri sebagai sepuluh negara. Jadi maskapai-maskapai di ASEAN melayan rute-rute di kawasan mereka sendiri dengan mengambil keuntungan yang sedikit ketimbang maskapai dari China, India, maupun Korea yang melayani rute-rute hingga ke banyak anggota APEC.
Apakah menurut Anda kualitas layanan penerbangan di ASEAN sudah terintegrasi?
Menurut saya banyak negara mulai melihat kualitas yang bagus pada layanan penerbangan di ASEAN. Masalahnya, banyak warga di ASEAN yang belum merasakannya. Contohnya Pesta Olahrga SEA Games, kenapa tidak menyebutnya ASEAN Games? ASEAN selama ini sudah baik dalam mencitrakan diri, namun rakyat di ASEAN itu sendiri belum merasakan keuntungannya.
Air Asia selama ini mencitrakan diri sebagai maskapainya ASEAN dan ada tantangan besar bagi pemerintah untuk membawakan manfaat ASEAN di kalangan rakyat.
Banyak maskapai yang menerapkan strategi yang sama dengan perusahaan Anda, namun tidak berjalan dengan baik. Mereka tampak menghadapi situasi yang dilematis, ingin bersaing dalam harga namun harus mengorbankan kualitas. Bagaimana pendapat Anda?
Ada beberapa hal yang tidak bisa dikompromikan dalam bisnis layanan penerbangan. Rendahnya biaya bukan berarti kualitas rendah. Bila ingin bersaing, bukan hanya soal harga, namun juga semua hal. Konsumen mudah pindah.
Bagaimana membuat perusahaan Anda efisien?
Wah, perlu seharian untuk membicarakannya. Namun, pada dasarnya kami terus membuat segalanya sederhana (simple). Contohnya kami cuma punya satu armada, yaitu Airbus A320. Kami tidak punya beragam tipe pesawat, tidak ada jenis turbo-prop maupun pesawat berbadan lebar. Jadi hanya ada satu tipe pesawat.
Dalam manajemen pun sama saja. Saya selalu berkata kepada para staf saya dalam bahasa Inggris, KISS. Keep It Simple, Stupid. Soalnya, banyak orang suka memperumit suatu hal, birokrasi pun dibikin rumit.
Saya pun tidak terbiasa pakai setelan bisnis, lebih suka pakai celana jeans dan kaos berkerah. Ini hanya karena KTT APEC saja saya harus tampil berkemeja batik yang rapih dan bagus. Kami tidak punya sekumpulan eksekutif, tidak punya serikat buruh. Di perusahaan kami, semuanya diperlakukan seperti keluarga.
Semua staf bahkan punya nomor ponsel saya. Jadi komunikasi di lingkungan kami pun mudah. Mereka bisa melaporkan masalah atau menyampaikan gagasan langsung kepada saya. Jadi, tetaplah berbisnis secara praktis.
Memang mudah melihat kami sebagai maskapai yang berbiaya murah, jadi ingin ikut-ikutan. Namun, melaksanakan moto kami itu, KISS, jauh lebih susah. Bila ingin bersaing dengan kami, tapi ingin mengambil jalan pintas, risikonya siap-siap kehilangan konsumen.
Lalu bagaimana membuat para staf perusahaan Anda, yang terdiri dari beragam kebangsaan, terintegrasi secara baik?
Saya mulai menerapkan integrasi sejak di akademi pelatihan. Apakah Anda orang Indonesia, Thailand, atau Myanmar, mereka dilatih di suatu tempat yang sama. Jadi, Air Asia yang utama, baru negara kalian masing-masing. Jadi kami memandang mereka sebagai Air Asia All Stars. Jadi kami menciptakan suatu kebangsaan di dalam perusahaan.
***
Bagaimana Anda menghadapi persaingan dengan maskapai-maskapai berbiaya murah di kawasan, contohnya Grup Lion Air dari Indonesia yang belakangan ini mengembangkan bisnis di Malaysia dengan mendirikan maskapai Malindo Air?
Kita harus mengakui Rusdi Kirana (Presiden Direktur Lion Air) yang secara luar biasa telah mengembangkan maskapainya. Mereka pun punya banyak model pesawat, sehingga perlu sumber daya yang besar untuk menanganinya. Selain itu ada juga maskapai lain yang sejenis di kawasan seperi Silk Air, Tiger Air, dan lain-lain.
Tapi kami tidak khawatir menghadapi para kompetitor karena pasar di kawasan begitu besar. Maskapai kami pun punya ceruk pasar sendiri dengan melayani rute di lima negara dan puluhan kota.
Lalu siapa kompetitor paling kuat di pasar maskapai berbiaya murah?
Tergantung dari masing-masing negara. Bila ingin jadi nomor satu di Indonesia, Lion Air merupakan kompetitor kami. Di Filipina ada Cebu Pacific Air.
Di Malaysia kami nomor satu, begitu pula di Thailand. Namun, dalam skala ASEAN, menurut saya belum ada kompetitor yang nyata.
KTT APEC di Bali tahun ini menyerukan upaya mendorong investasi. Apakah perusahaan Anda akan membuka investasi baru?
Jelas sekali. Kami sudah bersepakat dengan Bank ICBC berupa kucuran kredit US$1 miliar untuk membeli pesawat-pesawat baru, yang sebagian besar untuk layanan di Indonesia. Kami juga ingin berinvestasi di bandara-bandara serta ingin menciptakan banyak lapangan kerja.
Namun, menurut saya, pengembangan keahlian merupakan bagian dari investasi. Jadi kami membangun sekolah-sekolah penerbangan dan simulator baru di Indonesia, dimana kami menginvestasikan US$150 juta dalam bentuk pelatihan, mulai dari kru, teknisi, hingga pilot.
Jadi pengembangan keterampilan merupakan investasi yang paling penting. Sumber daya manusia lebih penting dari metal. Kita bisa cari metal mana saja untuk bahan membuat pesawat. Tapi, bila tidak bisa mencari orang yang tepat, hancurlah kita.
Maka kami juga mencurahkan diri untuk pembangunan sumber daya manusia. Setiap maskapai nasional dari suatu negara rata-rata dikelola oleh warga yang bersangkutan. Di Indonesia kami berinvestasi sekitar US$400 juta hingga US$500 juta per tahun dalam bentuk pesawat, dan sebesar US$150 juta untuk pelatihan.
Menurut Anda apa penghalang perdagangan dan investasi bebas yang diperjuangkan APEC?
Bagi saya proteksionisme jadi penghalang. Perusahaan lokal melobi pemerintah untuk menghambat pemain dari luar negeri untuk mengembangkan bisnis di negeri mereka agar pasar dalam negeri bisa dikuasai.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seringkali menyatakan dukungan terhadap liberalisasi perdagangan dan investasi. Itu bagi saya adalah pandangan ke depan.
Apa Anda punya kiat yang bisa dibagi kepada para wirausaha di Indonesia?
Ya itu tadi, KISS. Praktis dan fokus pada satu sektor. Lalu jangan mudah menyerah, harus punya kesabaran yang tinggi karena saya sendiri butuh waktu sedikitnya tujuh tahun untuk mulai melihat hasil usaha saya. Tidak ada yang namanya jalan pintas untuk maju, semuanya perlu proses dan determinasi.
Saya tahu di Indonesia banyak orang pintar dan berpotensi untuk maju, tapi belum ada kesempatan. Saya punya seorang staf asal Palembang yang sudah enam kali gagal tes, namun saya katakan jangan menyerah. Namun dia akhirnya berhasil dan belum lama ini menjadi first officer di armada kami dan akan membawa pesawat A320 seri baru.
Harapan Anda akan APEC?
Terus berupaya membuat hasil yang konkret, tidak sekadar bicara. Seperti yang saya utarakan tadi, bicara itu gampang tapi mewujudkannya perlu kerja keras.
0 komentar:
Posting Komentar