Dusun Lubuk Landai merupakan salah satu 
Dusun (Desa) yang sangat tua yang terletak di Kecamatan Tanah Sepenggal 
Lintas Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Dusun ini juga disebut sebagai 
kawasan tradisional karena adatnya yang masih kuat, kemudian bangunan 
tradisionalnya masih terlihat dan peninggalan sejarahnya menjadi 
kebanggaan masyarakat Lubuk Landai. Salah satu yang menjadi kebanggaan 
masyarakat tersebut berupa Makam Pakubuwono III yang berasal dari 
kerajaan Mataram. Tempat tersebut setiap tahun pada hari raya kedua 
masyarakat melaksanakan ziarah dan doa bersama.
Pada tahun 1746 daerah Tanah Sepenggal 
didatangi oleh rombongan dari Mataram pulau Jawa yang dipimpin oleh 
pangeran Mangkubumi. Latar belakang kepergian Mangkumi dari kerajaan 
adalah karena adanya perselisihan dengan saudara kandungnya Pakubowono 
II. Mangkubumi adalah seorang pemberontak melawan penjajahan Belanda 
pada saat itu di Jawa. Pada saat perundingan dengan kompeni Belanda di 
Desa Ponogoro, Mangkubumi berselisih paham dengan Pakubowono II. 
Sehingga terjadi pertentangan hebat yang tak mungkin dapat diselesaikan 
lagi. Oleh sebab itu Mangkubumi meninggalkan Surakarta, didampingi 
keluarga beserta pengikutnya menuju ke Sokawati. Kemudian disana ia 
bertemu dengan saudara akrabnya penembahan Notoprogo, selanjutnya 
Mangkubumi beserta rombongan menuju ke pedalaman Jambi. Akhirnya di 
daerah pedalaman jambi tersebut Mangkubumi memperoleh kekuasaan di 
daearah Tanah Sepenggal.
Kisah tersebut diceritakan oleh istri 
dari Kakubowono kepada anaknya Bowono. Pada saat itu Buwono sudah 
remaja, ia juga anak yang sering pembangkang seperti pamannya 
Mangkubumi. Pada suatu ketika Buwono bermain gasing dengan temannya, 
kemudian terjadi pertikaian dan melukai kepala temannya. Dari kejadian 
tersebut ibunya sangat marah kepada Buwono, sampai mengeluarkan 
kata-kata yang bukan-bukan menyangkut pamanya Mangkubumi.  Ibunya 
mengatakan kepada Buwono “Pamanmu adalah orang yang bagak (Menampakan 
kehebatan), bahkan pemberontak pemerintahan kompeni belanda, sehingga 
terjadi pertikaian dangan ayahmu, menyebabkan ia pergi ke pedalaman 
Jambi”. Berdasarkan ungkapan ibunya tersebut, Bowono mengakui kepahlawan
 Mangkubumi melawan penjajahan Belanda, kemudian ia berkeinginan kuat 
mengikuti pamannya ke Tanah pedalaman Jambi.
Selanjutnya Buwono meminta izin kepada 
ibunya untuk menyusul pamannya ke Tanah Jambi. Ia juga dengan tulus dan 
ikhlas memihak kepada pamannya,dan bersedia untuk mengikuti jejak 
kepergian pamannya. Kemudian ia meminta bantuan kepada ibunya berupa 
sebuah sampan layar serba guna, para pembantu berlayar yang 
berpengalaman dan dipercaya, perbekalan biaya secukupnya dan 
tuntunnan/pengarahan demi keselamatan.
Dengan permohonan yang demikian, ibunya 
merestui kepergian Buwono, hanya ibunya meminta bersabar menunggu untuk 
mempersiapkan semua keperluan di atas. Seminggu kemudian semua 
perbekalan dan perlengkapan yang diperlukan oleh Buwono sudah 
dipersiapakan oleh ibunya. Kemudian pada malam sebelum keberangkatan 
dibuatlah acara doa bersama untuk keselamatan Buwono beserta rombongan 
yang ikut dan agar dipertemukan Buwono dengan Pamannya Mangkubumi.
Tahun 1749 Buwono dengan seorang adik 
perempuan kecil dan tujuh orang pembantunya berangkat dari Surakarta 
menuju ke Semarang, kemudian bertolak dari Semarang melalui lautan Jawa 
menggunakan sampan serbaguna yang berukir rapi. Buwono pergi mengikuti 
jejak pamannya Mangkubumi, pada saat itu sedang memimpin kekuasaan di 
Tanah Sepenggal pedalaman Jambi (Sekarang masuk ke daearah Kabupaten 
Bungo kecamatan Tanah Sepenggal dan Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas).
Rombongan Buwono terus berlayar sampai di
 selat Berhala dan terus masuk ke Sungai Batangari, sampan terus 
berjalan sampai di Ujung Jabung. Disanalah mereka beristirahat selama 
tujuh hari. Kemudian rombongan berjumpa dengan Mbah Paduka Orang Kayo 
Hitam, mereka bertanya tentang kepada Mbah tersebut tentang Jukung dan 
sampan dari Mataram. Berdasarkan Jawaban dari Mbah Paduka Orang Kayo 
Hitam menjelaskan Jukung dari Mataram yang dipimpin oleh Mangkubumi 
dahulu pernah terdapar diseberang dan ditimbuni pasir. Kemudian 
rombongan Mangkubumi berangkat ke ulu sungai, menggunakan empat buah 
sampan yang dibelinya dari Mbah tersebut. Selain itu ada beberapa 
rombongan lainnya yang melewati sungai tersebut, seperti rombongan Raja 
Mataram, Sri Tanwah, Sko Benjara, Rio Anoom dan romongan lainnya. Itulah
 penjelasan dari Mbah tersebut yang disampaikan kepada Buwono berserta 
rombongannya.
Setelah berdekatan dengan Kampung Gedang 
seberang Jambi, Buwono melepaskan bebek dan mengikuti perjalanan bebek 
tersebut. Kemudian di Ujung Tanjung Kampung Gedang, Buwono bersama 
rombongan beristirahat dan bermalam. Pada malam itu decerikan bahwa adik
 dari Buwono menangis dan tidak mau lagi bersampan melanjutkan 
perjalanan. Kemudian naik seorang ibu ke sampan tersebut dan membujuk 
anak kecil itu, akhirnya adik Buwono diam tidak menangis lagi. Keesokan 
harinya saat mau melanjutkan perjalanan adik Buwono tidak mau ikut dan 
ia menangis lagi. Karena perempuan tersebut kasihan melihat anak kecil 
itu, ia meminta untuk merawatnya. Berbagai pertimbangan dan perjalanan 
yang masih jauh, Buwono memutuskan untuk meninggalkan adiknya bersama 
perempuan yang setia tersebut. Buwono juga memberikan kepada adiknya 
berupa “Caping Sang Sko” sebuah benda yang diberikan oleh ibunya 
di Surakarta. Benda tersebut merupakan warisan secara turun temurun 
langsung diserahkan kepada pihak perempuan.
Rombongan Buwono melanjutkan perjalanan 
dari Kampung Tanjung Pasir, sampannya dipenuhi berbagai bibit tanaman 
dan makanan, seperti pisang, nenas, tebu, jagung, timun, labu dan 
sebaigainya yang dibawa dari Kampung Tanjung. Kemudian mereka meneruskan
 perjalanan keulu Sungai menurut tuntutan dan pengarahan yang 
menghabiskan beberapa hari dalam perjalanannya. Akhirnya sampai di 
Banjar Bugis, Buwono dan dua orang pembantunya naik ke kampung. 
Kelihatan oleh mereka beberapa rumah di kampung itu dan di suatu rumah 
ada jemuran baju berukuran seibang sama gedang (Pakaian paksa). Dengan 
demikian inilah tanda keberadaan pangeran Mangkubumi yang dicari-cari 
selama ini oleh Buwono.
Buwono beserta dua orang pembantunya 
masuk ke dalam rumah, kemudian berjabat tangan dengan Pamannya 
Mangkubumi. Buwono memperkenalkan diri “Buwono putra sunan Paku Buwono 
ke II Surakarta”, Mangkumi hanya diam dan terperagah dengan sebutan 
tersebut. Pangeran Mangkubumi meminta kepada Buwono untuk menunjukan 
tanda bukti khas dari Mataram, Buwono tidak bisa menunjukan bukti 
tersebut karena ditinggalkan sama adik perempuannya di Kampung Gedang. 
Buwono hanya hanya bisa menunjukan tanda bukti berupa perahu berukir 
rapi dari Mataram, bukti tersebut tidak dapat dijadikan sebagai syarat 
mutlak ciri khas dari Mataram.
Mangkubumi masih ragu terhadap kedatangan
 Buwono, akhirnya Buwono memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Mereka
 melewati Keluk kucing Tidur, lalu masuk dan jatuh ke air terjun sungai 
batang tebo, dari daearah itu juga kelihatan Tebing Tinggi tanah 
berpenampalan campur batu dan disebelah mudiknya kelihatan juga Guntung 
Lago. Buwono menemui lokasi di tanah Pilih, di tempat ini mereka 
beristirahat dan bermalam.
Setelah satu hari di Tanah Pilih, Buwono 
memerintahkan kepada rombongan untuk menebas dan membersihakan tempat 
yang mereka jadikan tempat istirahat. Kemudian mulai menabur bibit 
tanaman yang diberi orang di Kampung Gedang tanjung pasir. Beberapa hari
 kemudian bibit tanaman tersebut tumbuh subur dan merata dengan baik. 
Dengan demikian romongan bergairah untuk memperluas menaman bibit-bibit 
tersebut. Buwono berserta rombongan juga mendirikan bebrapa pondok untuk
 tempat berlindung dari serangan musuh dan binatang buas.
Suatu ketika datang Mangkubumi secara 
mendadak ke tempat tersebut, karena ini  adalah perkebunan kapas 
kepunyaan Mangkubumi. Dilihatnya ladang kapas telah musnah dan ganti 
dengan tamanan lain, Mangkubumi sangat marah kepada rombongan Buwono. 
Kemudian ia mengusir rombongan Buwono dari tempat tersebut. Akan tetapi 
mereka hanya bisa diam dan membiarkan Mangkubumi marah-marah. Buwono 
tetap juga tidak mau meninggalkan tempat tersebut, akhirnya Mangkubumi 
balik ke Kampung Banjar Bugis.
Beberapa lama kemudian Mangkubumi 
mengutus pasukan untk mengusir rombongan Buwono, Namun mereka tetap saja
 tidak mau meninggalkan tempat itu. Mereka juga selalu waspada terhadap 
serangan musuh dan mempertahankan lahan yang ditanami bibit makannan 
itu. Karena tempat tersebut sesuai dengan tuntutan dan pengarahan dari 
orang tuanya di Surakarata Mataram.
Selanjutnya datang lagi utusan Mangkubumi
 menjumpai Buwono terkait hal sama dengan diatas, mereka tetap saja 
tidak mau meninggalkan tempat Tanah Pilih. Mangkubumi terus menulusuri 
tujuan rombongan Buwono, apakah memang benar Buwono adalah anak dari 
Pakubowono II. Sampai dengan utusan yang ketujuh kali Mangkubumi ingin 
menyelesaikan masalah itu secara berunding. Pakubuwono berserta pasukan 
telah mendirikan sebelas rumah dan membuka lahan di Tanah Pilih Lebak 
Landai (Lubuk Landai) selama lima tahun (1749-1754).
Awal tahun 1754 Pangeran Mangkubumi 
mendirikan Balai Panjang Tanah Sepenggal di Keluk Kucing bertepatan 
disebelang pulau seribu bulan (Sekarang Dusun Tanah Periuk). Setelah 
balai tersebut selesai, langsung diresmikan dan diangkat Mangkubumi 
menjadi Raja yang bergelar Seri Raja Tanah Sepenggal yang berkedudukan 
di balai Panjang Tanah Sepenggal Tanah Periuk.
Selanjutnya mengadakan sidang yang 
pertama masaalah padang kapas Mangkubumi yang yang ditebas oleh 
rombongan Buwono. Sidang tersebut dipimpin oleh Wan Oemar Tuo Negeri 
Kampung Gedang Tanjung Pasir (Raja Pulau Dusun Manggis). Hasil sidang 
tersebut bahwa Buwono dinyatakan bersalah terhadap perlakuannya sebagai 
orang pendatang. Sehingga ia dikenakan “Yang delapan Penuh serta Denda” 
kemudian Mangkubumi dan Buwono menyetujui keputusan tersebut. Namun 
Buwono meminta permohonan diberi tangguh perbayaran dan diberi izin 
untuk pulang sebentar ke Mataram.
Berdasarkan keputusan tersebut Buwono 
berani bertanggungjawab terhadap kesalahannya dan menerima hukuman 
berdasarkan peraturan yang berlaku. Dengan demikian Mangkubumi 
membenarkan Buwono adalah keponakannya anak dari sudaranya Sri Sunan 
Pakubuwono ke II yang memerintah di Surakarta Tahun 1727-1749. Kemudian 
Mangkubumi juga memberikan izin kepada kepada Buwono untuk pulang ke 
Mataram.
Buwono bersama tiga orang pembantunya 
berangkat menuju Mataram dengan sampan serbaguna. Sampai di Mataram ia 
langsung menghadap ibunya bersujud meminta maaf, pada saat itu ibunya 
sedang sakit. Lalu Buwono menceritakan tentang jerih payahnya dalam 
perjalanan menuju Tanah Jambi mengikuti jejak Mangkubumi. Kemudian 
menjelaskan juga tujuan dan maksudnya pulang ke Mataram, yaitu peresmian
 sebelas rumah di Tanah Pilih dan mengundang Kesenian Beda Mataram untuk
 menghadiri acara tersebut.
Ibunya menyetujui permintaan Buwono, 
kemudian Buwono menghadap ketua kesenian menyampaikan hal tersebut. 
Ketua kesenian menyambut baik penyampaian Buwono dan mempersiapkan tim 
kesenian untuk berangkat ke Tanah Pilih untuk meresmikan negeri dan 
sebelas rumah. Lalu Buwono dan rombongan kesenian Bende Mataram 
berangkat dari Mataram ke Tanah Pilih menggunakan dua buah sampan.
Ketika sudah sampai di Tanah Pilih, 
Mangkubumi langsung berkunjung menjumpai Buwono berserta rombangan 
kesenian Bede Mataram. Ketua kesenian tersebut juga Paman Buwono adik 
dari ibunya. Dengan demikian mantaplah perbincangan antara kedua 
pamannya tersebut. Dalam pertemuan yang singkat itu Ketua kesenian dan 
Mangkubumi merumuskan masalah peresmian negeri yang bernama Lebak Landai
 dan pemakaian sebelas rumah. Kemudian mereka juga menjodohkan Buwono 
dengan Sri Ratu Daya Rani putri dari ketua kesenian juga saudara sepupu 
Buwono. Selanjutnya Buwono juga dilengkapi dengan gelar PAKUBUWONO III, 
karena ia adalah anak pertama dari Sri Sunan Pakubuwono II. Perjodohan 
tersebut sesuai dengan istilah “Jadi masih serumpun kepah yang 
tinggi/sepucuk jalo panjang”.
Untuk menunaikan janji Buwono sebelum 
pulang ke Mataram mengenai kesangggupannya menerima denda yang 
dijatuhkan ketua sidang atas perbuatnya, ia beserta dua orang 
pengiringnya berangkat menuju Balai Panjang menemui Mangkubumi di Tanah 
Periuk. Dihadapan Mangkubumi, Wan Oemar Ketua Sidang dan datuk Rio Anoom
 Abdi Masyarakat Tanah Sepenggal, Buwono menyerahkan hutang dan denda 
yang dikenakan berdasarkan hukum adat dan peraturan yang berlaku.
Selanjutnya Buwono juga menyampaikan 
niatnya untuk melakukan peresmian negeri dan rumah yang dibangunnya di 
lokasi Tanah Pilih Lubuk Landai. Mangkubumi Langsung membatahnya kalau 
hanya meresmikan kedua tempat tersebut. Maksud Mangkubumi ingin 
menikahkan Buwono dengan Sri Ratu Daya Rani sesuai dengan perundingan 
Mangkubumi dengan ketua kesenian. Berdasarkan permintaan tersebut Buwono
 mengikuti keinginan kedua pamannya.
Acara tersebut dilaksanakan selama tiga 
hari tiga malam, terhitung mulai tanggla 11 sampai dengan 13 Maret 1754 
dengan mengundang beberapa tamu sebagai berikut: Pemuka Masyarakat 
Bilangan V/VII, Pemuka Masyarakat Jujuhan, Pemuka Masyarakat VII Koto, 
Pemuka Masyarakat Bati II, Pemuka Masyarakat Bati III Ilir, Pemuka 
Masyarakat Bati III, Pemuka Masyarakat Bati VII, Pemuka Masyarakat Teluk
 Rendah, Pemuka Masyarakat Kampung Gedang Tanjung Pasir, Pemuka 
Masyarakat Tahtul Yaman Kesenian Melayu, Anak Negeri nan VII dalam Tanah
 Sepenggal.
Pada tanggal 11 Maret 1745, Pangeran 
Mangkubumi meresmikan tiga serangkaian sukses, Pertama peresmian 
Desa/Dusun yang bernama Lebak Landai sepuluh tahun kemudian dirubah 
menjadi Lubuk Landai. Kemudian yang kedua peresmian Rumah nan 11 buah 
sudah selasai dibangun, menurut ketentuan/aturan Buwong rumah ini diberi
 nama bertulis Rumah Adat Balembago juga dikatakan rumah nan Batanganai.
 Sepuluh rumah sebagai rumah adat Balembago dan satu Rumah sebagai Rumah
 adat (Rumah gedang). Setelah itu yang terakhir peresmian pernikahan 
Pakubuwono III dengan Sri Ratu Daya Rani, acara ini berlangsung di Rumah
 Adat Gedang atau Rumah Adat Negeri.
Selama Tinggal di Lubuk Landai Pakubuwono
 III dan Sri Daya Rani mendapat lima orang anak. Anak tersebut 
diantaranya empat orang perempuan Kali Urai, Meh Mato, Meh Baik, Meh 
Urai dan satu orang anak laki-laki Rajo Nitah, ia meninggal berumur enam
 tahun lebih dahulu sebelum orang tunya. Pakubuwono Wafat tahun 1787 di 
Kampung Betung Dusun Lubuk Landai dekat Sungai Batang Tebo Jembatan 
Perlintasan Lubuk Landai dengan Pasar Lubuk Landai. Di makam tersebut 
juga ada Kuburan Isterinya Sri ratu Dara rani dan Kuburan Anak 
Laki-lakinya Rajo Nitah. Sedangkan empat orang anaknya yang lain menikah
 ada yang di Tanah Periuk, Candi, Rabah Ulek dan satu Orang di Lubuk 
landai. Maka di Makan tersebut hanya ada tiga kuburan Pakuwbuwo III, Sri
 ratu Daya rani dan Rajo Nitah. Sedangkan Mangkubumi Pamannya, setelah 
peresmian tiga serangkaian acara di atas ia kembali lagi ke Mataram 
Suarakarta. Sehingga peninggalan Mangkubumi secara pisik tidak dapat 
ditemukan di Tanah Periuk.
Menurut kebiasaan masyarakat Lubuk Landai
 secara turun temurun sampai sekarang yang dijelasakan Datuk Rio Mudo 
Muhammad Isa (Kepala Dusun). Setiap Hari lebaran kedua Masayarkat Lubuk 
Landai melaksanakan Ziarah dan doa bersama di makam tersebut. Acara itu 
dimulai dari makam pahlawan perjuangan masa belanda yang berada di Lubuk
 Landai kemudian berakhir di makam Pakubuwono. Tradisi ini bukan hanya 
diikuti oleh masyarakat Lubuk Landai, akan tetapi juga diikuti oleh 
Masyarakat diluar lubuk landai seperti Tanah Peruik, Candi dan daerah 
lainnya di Lingkup Kabupaten Bungo. Berdasarkan potensi tersebut 
sehingga pemerintah Daerah bekerjasama lembaga lainnya memberi sebutan 
untuk dusun ini sebagai Kawasan tradisional Makam bersejarah.
Nama Lubuk Landai/Lebak Landai, diambil 
dari kata Lebak (Air tergenang peraiaran Sungai) yang berada di Sungai 
Batang Tebo dekat Masjid Lubuk Landai sekarang. Kemudian Landai (Air 
yang dangkal) dan ada juga yang mengatakan Landai berarti keris yang 
jatuh ke lebak. Kemudian sepuluh tahun kemudian Lebak diganti dengan 
Lubuk (Air yang dalam sekaligus mengerikan). Dengan demikian secara 
pemahaman masyarakat dahulu yang ditulis Husin Djafar Lubuk-Landai 
berarti Dalam-Dangkal. Disisi lain mengartikan sesui dengan pemahaman di
 atas yang dijelaskan oleh Ibrahim Ketua BPD Lubuk Landai, Lubuk berarti
 Air tergenang dan Landai berarti Keris. Maka nam Lubuk Landai diambil 
dari sebuah peristiwa jatuhnya keris ke dalam air yang dalam atau Lebak.
 Kedua pendapat tersebut dianggap kedua-duanya benar saling melengkapi 
satu sama lain.






0 komentar:
Posting Komentar