"Sejak pertama kali saya datang ke sana (Lombok), orang putih datang ke sana pasti Kristen, itu ya mereka. Saya harus jelaskan saya bukan Kristen, saya juga bukan Atheis. Saya tidak punya agama waktu itu, lebih bingung mereka," papar Fetter saat berbincang dengan merdeka.com baru-baru ini.
Fetter mengatakan aksi demonstrasi menentang pembangunan yayasan di lahan tersebut berlangsung berulang kali. "Jadi waktu kita mulai mau bangun ini, kita sudah mulai bangun, di depan (lokasi) ada satu kampung orang kumpul marah-marah, takut mereka dari luar datang untuk kasih semua anak-anak injil-injil atau mau Kristenisasi, itu yang mereka lakukan pertama kali," papar Fetter.
Untuk meredam aksi penolakan tersebut, Fetter akhirnya membuka dialog dengan warga setempat di sebuah madrasah dekat lokasi pembangunan yayasan. Fetter mengatakan, dirinya sudah pasrah apabila dialog dengan warga setempat mengalami jalan buntu.
"Kita bilang sadarkan, kita mau kumpul nanti kita buat kumpulan di madrasah sebelahnya, nanti kita jawab semua pertanyaan, dan setelah dijawab kami sampaikan tujuan kami dan setelah kami jawab semua pertanyaan dan kami beri penjelasan ternyata masih ada yang keberatan, maka kami tidak akan bangun apapun disini," jelas Fetter.
Upaya dialog dan pendekatan kepada masyarakat ternyata membuahkan hasil. Pada akhirnya warga setempat menerima rencana Fetter membangun Yayasan Peduli Anak di wilayah mereka. "Setelah kita melakukan sosialisasi dengan masyarakat, tidak ada yang menolak, tidak ada lagi yang melawan," imbuh Fetter.
Saat ini, Yayasan Peduli Anak sudah mempunyai sekitar 400 anak asuh di dalam dan di luar lokasi yayasan. Fetter pun melibatkan warga lokal untuk mengelola tempat itu. "Jadi kita punya 100 anak di dalam panti dan di luar panti ada 300-an. Kita punya 60 staf lokal, saya lakukan itu semua selama tujuh tahun," ucap Fetter.
Sekarang yayasan ini menghadapi tantangan lain yakni pemenuhan biaya operasional yang mencapai Rp 100 juta per bulan, mencakup gaji pegawai, keperluan sekolah sekitar 400 anak, makan siang anak-anak setiap hari, juga edukasi bagi para orang tua siswa.
"Biaya operasional yayasan peduli anak sekitar Rp 100 juta, itu untuk sekitar 400 anak, seragam, sepatu, dapat makan siang setiap siang, karena kadang anak juga gak dikasih makan di rumahnya, di kita dapat makan siang, sayur daging, healthy food, jadi kita biayain semua termasuk yang 60 karyawan lokal juga dapat gaji tapi gaji lokal kira-kira Rp 1,2 juta itu gaji mereka, jadi standar lokal," papar Fetter.
Fetter mengaku mendapat subsidi dari pemerintah sebesar 15 persen dari total biaya operasional. Namun angkanya masih jauh dari biaya operasional yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, Fetter memutuskan untuk membuka bisnis jual beli secara online di Jakarta untuk memenuhi kebutuhan operasional yayasan.
"Saya bersama istri dan anak pindah ke Jakarta, buat perusahaan disini. Dari keuntungan perusahaan, lima persen akan didonasikan ke Yayasan Peduli Anak setiap bulan. Jadi saya mulai dengan jualo.com, itu e-classified market place untuk jual beli, tapi bukan fokus untuk yang penjual tapi untuk pembeli," ungkap Fetter.
Dibangun awal tahun ini jualo.com kini sudah punya 120 ribu pengguna aktif.
0 komentar:
Posting Komentar