-
Bayangkan bola dalam genggaman
tangan seperti gambar di atas dapat memberikan listrik untuk rumah anda
selama 100 tahun lebih atau sebesar bola basket dapat mengaliri Listrik
sebuah Kota selama setahun atau bahkan sebuah mobil Listrik yang tidak
perlu mengisi Listrik seumur Hidup anda memilki mobil tersebut. Ini
semua bukanlah bagian dari fantasi sebuah film Hollywood tetapi akan
menjadi kenyataan dalam 5 – 10 tahun lagi.
Bahan bakar yang kami maksud adalah Thorium yang memilki densitas energi terpadat sehingga 1 ton Thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar pembangkit listrik berdaya 1000 MW selama 1 tahun. Bandingkan dengan uranium yang membutuhkan 200 ton atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. - dan yang lebih menggembirakan bahwa indonesia memilki Cadangan Thorium untuk 1000 tahun.
Revolusi energi berikutnya adalah Thorium, sebuah sumber energi yang bersih, tidak mengeluarkan emisi apapun dan karena densitas energi yang sangat tinggi maka energi yang dihasilkan sangat murah.
Thorium akan mengakhiri pengunaan bahan bakar minyak selamanya karena di masa depan kendaraan, kapal laut bahkan pesawat terbang dapat memakai Thorium sebagai bahan bakar.
Berakhir sudah tarif listrik PLN yang setiap tahun naik terus, karena tarif listrik dapat turun lebih dari 30% dan tidak akan naik selama anda hidup.
Ini semua bukan fantasi tapi akan menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 10 tahun dari sekarang.
Apakah Thorium ?
Thorium adalah sebuah unsur kimia dengan no 90 yang mempunyai sifat radioaktif yang dapat dipakai sebagai bahan bakar reaktor nuklir. Tidak seperti Uranium yang terbilang langka, Thorium terdapat dalam jumlah cukup banyak di dalam bumi di banding emas, perak, dan timah hampir di setiap negara di dunia terdapat Thorium.
Di Indonesia, Thorium dapat di temukan di Bangka Belitung sebagai ikutan timah dan menurut Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) ada sekitar 121.500 ton cadangan Thorium di Babel (hanya Babel belum seluruh Indonesia) yang dapat memberikan daya 121 Gigawatt selama 1000 tahun (saat ini total produksi listrik Indonesia masih di bawah 40 Gigawatt). – Bicara tentang kemandirian energi dan ketahanan energi inilah jawabannya bukan batubara yang akan habis dalam 20 tahun atau gas yang akan habis dalam 38 tahun.
Sejarah Thorium
Hampir semua bahan bakar PLTN di dunia adalah Uranium dalam bentuk padat dengan pendingin air atau yang disebut Light Water Reactor (LWR) yang memiliki 3 variant yang disebut : Pressurised Water Reactor (PWR), Boiling Water Reactor (BWR) dan Super Critical Water Reactor (SCWR) – PWR dan BWR adalah yang terbanyak di pakai di dunia.
Sejak awal penelitian Nuklir selalu di danai oleh militer, sejak Manhattan Project yang menciptakan bom atom Hiroshima-Nagasaki, karenakan kebutuhan untuk menciptakan bom nuklir yang lebih dahsyat dan unsur terpenting adalah Plutonium yang tidak di dapat di alam hanya didapat melalui proses fisi nuklir -- jadi sesungguhnya reaktor LWR hanyalah sebuah pabrik plutonium terselubung. Sebagai contoh 1000 MW reaktor PWR menghasilkan sekitar 230 kg/tahun Plutonium yang cukup untuk membuat 30 bom atom skala Hiroshima.
Adalah Dr Alvin Weinberger, salah satu anggota Manhattan Project yang mengusulkan mempergunakan Thorium sebagai bahan bakar reaktor daya sipil (PLTN) yang memiliki efisiensi lebih dari 90% dibanding uranium yang hanya dibawah 3% ditambah reaksi fisi thorium tidak menghasilkan Plutonium sehingga lebih aman tetapi ternyata hal ini justru yang tidak membuat Thorium menarik bagi pihak militer yang masih membiayai riset nuklir saat itu sehingga penelitian Thorium di hentikan pada tahun 1969.
Pada saat riset thorium di hentikan, Weinberger telah menciptakan sebuah reaktor khusus sipil yang bukan LWR yang telah beroperasi selama 20,000 jam tanpa masalah. Reaktor ini disebut Molten Salt Reactor(MSR) karena mempergunakan pendingin garam cair dan bahan bakar cair yang sangat cocok untuk thorium.
Sejak itu berkakhirlah pamor Thorium/MSR sampai tidak pernah lagi ada pembahasan MSR dalam dunia fisika nuklir sampai kejadian setelah Fukushima pada tahun 2011 para ahli nuklir mulai mengkaji ulang desain reaktor pendingin air dan berbahan bakar padat. Pemikiran untuk memakai bahan bakar cair mulai muncul kembali dan tentunya salah satu yang sudah terbukti adalah MSR.
Beberapa keunggulan TMSR vs LWR
Walaupun desain MSR selama lebih dari 50 tahun tidak ada yang melirik tetapi ketika pada tahun 2000 berbagai ahli dan pelaku industri nuklir berkumpul untuk membahas desain reaktor nuklir generasi ke IV dan MSR terpilih sebagai salah satu dari 6 reaktor yang di setujui sebagai reactor generasi ke IV yang handal dan satu-satunya yang sudah terbukti.
Beberapa keunggulan MSR dengan bahan bakar thorium dan garam cair (TMSR) dibanding reaktor LWR pada umumnya antara lain :
Reaksi fisi TMSR terjadi dalam tekanan normal (1 ATM) sehingga tidak membutuhkan struktur pelindung yang berat sehingga tidak akan menimbulkan ledakan bila terjadi kebocoran seperti pada LWR - Bandingkan dengan tekanan pada reaktor LWR yang pada tekanan 144 ATM atau setara seperti kedalam 1,5 km di dalam laut. Beton pelindungnya saja setebal 1,5 meter.
TMSR mengkonsumsi lebih dari 90% bahan bakar dibanding LWR yang hanya 3% sehingga sisa limbah radioaktif sangat kecil dengan tingkat radioaktif jauh lebih kecil di banding Uranium dan Plutonium dan limbah tersebut dapat di campur lagi sebagai bahan bakar TSMR – Sebagai perbandingan 1000 MW PLTN LWR menghasilkan limbah 35 ton sementara TSMR hanya 170 Kg.
Menghasilkan panas yang lebih tinggi di banding LWR sehingga menghasilkan efisiensi konversi energi dari panas ke listrik yang jauh lebih baik dari batubara, gas ataupun LWR.
Reaksi fisi dapat berhenti dalam sekejap (dalam hitungan menit) tanpa adanya decay heat yang berkepanjangan tidak seperti LWR bahkan setelah control rod dimasukan untuk menghentikan reaksi fisi tetapi decay heat pada tempratur 900 C masih tetap berlangsung yang menyebabkan akumulasi gas Hidrogen dapat menyebabkan terjadi meltdown dan ledakan yang meruntuhkan struktur pelindung -- seperti kasus Fukushima.
Ketika terjadi hilangnya listrik atau bencana lainnya maka garam cair akan meluncur ke tempat penampungan di bawah tanah secara otomatis tanpa bantuan listrik atau manusia secara gravitasi dan karena tidak adanya pemanasan maka dalam waktu singkat garam cair akan mengeras menjadi kristal sehingga aman. – TMSR dapat dikatakan Anti-Meltdown -- hal inilah yang di sebut “passive safety” atau “walk away safety” yang hampir menjadi kriteria utama semua jenis reaktor generasi ke IV, tentunya bagi jenis LWR hal ini sangat sulit di laksanakan dengan mudah, karena prinsip LWR adalah pendingin air, maka untuk melaksanakan fungsinya pompa air harus bekerja.
TMSR memilki desain reaktor paling sederhana dengan bahan bakar cair membuat reaktor dapat di buat kecil dengan daya kecil seperti 25 MW yang tidak mungkin di lakukan oleh reaktor LWR konvensional. Hal ini membuat TSMR sangat ideal untuk negara-negara berkembang yang konsumsi listrik masih rendah atau di Indonesia bagian Timur yang konsumsi listrik tidak terlalu tinggi. Karena TSMR tidak memakai air sebagai pendingin maka TMSR tidak harus di bangun di pinggir laut atau sungai karena tidak membutuhkan air dalam jumlah besar, sehingga dapat di posisikan di tengah daratan seperti wilayah Kalimantan Tengah atau di perbatasan Kalimantan.
Mungkin salah satu keunggulan TMSR yang pastinya akan di sukai oleh PLN adalah Load Following karena bahan bakarnya cair maka daya yang di hasilkan dapat di naikan dan di turunkan dalam waktu cepat. Hal ini berguna khususnya pada waktu-waktu beban puncak yang biasanya hanya berlangsung tidak lebih dari 2 jam. Sebagian besar pembangkit listrik PLN adalah base load (PLTU dan PLTA) dimana sulit untuk menaikan dan menurunkan daya dengan cepat sehingga PLN harus memakai pembangkit listrik seperti Genset diesel atau Gas yang biayanya mahal untuk mensuplai daya pada beban puncak – Artinya TMSR memiliki kemapuan base load dan load following yang tidak di miliki oleh jenis reaktor bahan bakar pada seperti LWR dan HTGR.
Salah satu keunggulan yang terpenting adalah keekonomisan yang tinggi. Karena desain TMSR adalah desain reaktor yang paling sederhana sehingga kontruksi dapat di lakukan secara fabrikasi di pabrik dan di rakit dilokasi membuat biaya pembangunan menjadi murah bahkan lebih murah dari PLTU di perkirakan rata-rata dibawah USD 2,5 Juta per MW bandingkan dengan LWR yang di kisaran 7 – 8 Juta per MW . Di karenakan harga thorium sangat murah dan efisiensi yang tinggi maka biaya produksi listrik TMSR tidak akan lebih dari USD 3 sen/kwh, sementara rata-rata biaya produksi listrik PLN saat ini di atas 10 – 12 sen dan tarif listrik di kisaran 9 sen maka dari tahun ke tahun subsidi listrik naik terus dan mungkin dapat membuat PLN menjadi untung karena selama rugi terus – Bayangkan pemerintah tidak perlu lagi mensubsidi PLN bahkan tarif listrik mungkin dapat turun.
Walaupun perusahaan Nuklir besar yang membangun PLTN saat ini mencoba mendesain generasi berikut reaktor jenis PWR dengan beberapa fitur pasive safety, modularity dan keekonomisan yang lebih tinggi seperti , AP1000 (Westinghouse), Areva EPR (Areva), ACP 100 (CNNC china), Korea SMART, NuSclae (NuScale), M-Power (Babcock & Wilcox), dan banyak lagi, tetapi tetap pada akhirnya tidak dapat menandingi TMSR dari sisi keselamatan dan keekonomisan - TMSR akan menjadi reaktor yang termurah biayanya.
Analoginya adalah ketika tahun 80'an pertama muncul Personal Computer dan saat itu ada berbagai jenis operating sistem yang meniru Microsoft DOS dan ada yang lain sama sekali seperti Apple, bahkan ketika Microsoft merelis windows pada tahun 1985 banyak yang mencemooh termasuk Apple tapi 10 tahun kemudian Windows menguasai 90% pasar operating system termasuk apple akhirnya menyerah dan membiarkan aplikasi Windows dapat di pakai di Mac OS. -- Saya yakin hal yang sama akan terjadi dengan reaktor nuklir. Paska beroperasinya TMSR pada 2020 tidak akan ada lagi pihak yang akan membangun reaktor yang bukan TMSR dan tidak ada lagi yang akan memakai Uranium sebagai bahan bakar hanya akan ada 2 pilihan : Thorium atau Limbah Nuklir.
Perkembangan TMSR saat ini
Sejak terjadinya Fukushima pembahasan tentang TMSR mulai hidup kembali bahkan sebuah forum International, International Thorium Energy Organisation sudah di bentuk dan melakukan konprensi internasional, International Thorium Energy Confenrences (IThEC) setiap tahun sejak 2010. Bahkan Sekjen Badan Dunia Energi Nuklir, IAEA, Hans Blix dan Carlo Rubbia, pemenang Hadiah Nobel Fisika dan juga menjabat Direktur CERN yang keduanya hadir sebagai pembicara pada IThEC 2013 untuk memberikan dukungan terhadap Thorium yang di sampaikan sebagai sumber energi masa depan -- Hadirnya kedua tokoh Nuklir yang terpandang tersebut menunjukan bahwa Thorium Energy bukanlah lagi sebuah wacana tetapi merupakan sebuah realita yang akan terjadi dalam waktu dekat. (interview Hans Blix tentang Thorium Energy dan Presentasi Carlo Rubbia pada IThEO 2013 dapat di lihat dengan mengklik namanya di atas)
China dan India menjadikan TMSR menjadi program energi nasional dan berlomba untuk menjadi yang pertama. China telah menunjuk Chinese Acedemy of Scince (CAS) sebagai pimpinan proyek TMSR. Ambisi China menjadi negara pertama yang mengoperasikan TSMR secara komersial, target mereka pada tahun 2020 TSMR dengan daya listrik 100 MW sudah dapat beroperasi dan 1000 MW pada 2030.
Komitmen China untuk merealisasikan ambisi tersebut jelas terlihat. Pada tahun 2011 CAS di berikan anggaran USD 350 Juta sebagai anggaran tahap awal dengan komitmen USD 1 Milyar selama 5 tahun dan CAS sampai saat ini telah merekrut lebih dari 300 Sarjana S3 dalam berbagai bidang. CAS juga telah melakukan kerjasama dengan Oak Ridge National Laboratory tempat di mana MSR pertama di buat dan Fakultas Tehnik Nuklir MIT. – Jelas dengan komitmen yang tinggi seperti ini Kami yakin China akan berhasil mengoperasikan TMSR pertama sebelum 2020.
Ada sekitar 25 perusahaan 12 negara di Dunia yang saat ini melakukan pengembangan TMSR termasuk China dan India tetapi sebagian besar adalah dibiayai oleh Swasta, hanya China dan India yang menjadi program Nasional. Salah satunya adalah Terrapower yang biayai oleh Bill Gates, pendiri Microsoft.
Gates menghabiskan lebih dari 10 tahun dan hampir USD 10 Milyar untuk membiayai berbagai teknologi energi bersih mulai dari teknologi baterai, Photovoltaic sampai Reaktor Nuklir dengan tujuan untuk membantu negara-negara terkebelakang seperti di Afrika untuk mendapatkan listrik murah dan bersih untuk mengangkat negara tersebut dari kemiskinan.
Ketika pada akhirnya ia memilih Reaktor Nuklir variant MSR yang diberi nama Travelling Wave Reactor (TWR) yang mempergunakan bahan bakar limbah nuklir cair – Hal ini membuktikan bahwa TSMR adalah sumber energi masa depan -- Tentunya sebagai seorang derwawan dan pendukung gerakan hijau Gates pastinya sudah mempertimbangkannya dengan matang sampai akhirnya memilih TMSR.
Pola bisnis mempergunakan limbah nuklir yang menjadi masalah bagi negara-negara nuklir sebagai bahan bakar MSR bukan hanya di lakukan oleh Terrapower tetapi berapa perusahaan lainnya. – Sehinggga MSR dapat menjadi solusi bagi industri Nuklir yang selama ini tidak ada jalan keluar selain di simpan dalam bunker di dalam tanah.
Ketika China pada tahun 2020 mengoperasikan TSMR maka saat itu adalah hari kematian energi fossil, seperti batubara, minyak bumi, gas bumi bahkan Jenis reaktor turunan LWR lainnya tidak akan ada yang memakai lagi. Karena dari sisi keekonomisan jelas tidak akan tertandingi dari jenis pembangkitan energi lainnya sampai mungkin teknologi Cold Fusion muncul.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Di Indonesia, tidak banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan BATAN dalam Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan PLTN pertama pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) -- yang harus di ingat adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana saat itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang bertambah kuat - PWR menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai setelah kemunculan MSR atau reaktor generasi ke IV lainnya.
Seharus sebuah perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. -- Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan dominasi fixed line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses internet -- Bila saja pihak Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak mendirikan PT Telkomsel pada tahun 1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut. Karena faktanya Income terbesar PT Telkom adalah dari Telkomsel.
Dari sisi bahan bakar menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya memiliki Cadangan Uranium 63.000 ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan Thorium ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121 PLTN TMSR berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan yang rasional di banding Uranium.
Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya pembangunan PLTN pada kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang Small-Modular-Reactor (SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di desain dengan target biaya di kisaran USD 3 juta / MW.
Karena ketidaktahuan tentang adanya teknologi Nukir yang jauh lebih aman dibanding LWR maka Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional menempatkan Nuklir sebagai opsi terakhir. – Hal ini karena kekuatiran terhadap : Kecelakan (meltdown) dan radiasi yang sesungguhnya lebih banyak isu daripada faktanya, seperti pernah saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya PLTN antara isu dan fakta. Tapi sayang dari pihak BATAN maupun ESDM tidak ada yang memberikan keterangan pembelaan terhadap PLTN sehingga kalimat "opsi terakhir" masuk dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional.
Pada tahun 2030 China dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan pada saat itu sangat mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan harga murah -- Bila Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan teknologi nuklir inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun sebelum Jepang memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah memiliki 3 reaktor eksperimen, 2 lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2 fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih bermimpi memiliki PLTN.
Masalah ini sebenarnya sangat sederhana saja. Perintahkan BUMN yang begerak dalam bidang Nuklir, PT INUKI (Industri Nuklir Indonesia) untuk bekerjasama dengan salah satu perusahaan yang sedang melakukan pengembangan MSR yang sebagian besar adalah startup dan membutuhkan suntikan dana -- sama seperti yang di lakukan oleh Nurtanio yang bekerjasama dengan CASA ketika membuat pesawat pertamanya CN-212 yang berhasil melambungkan Nurtanio dalam waktu singkat menjadi Industri Pesawat Terbang kelas Dunia. Maka bila hal ini dilakukan dalam masa pemerintahan ini, saya yakin sebelum 2025 Indonesia sudah akan memiliki PLTN MSR skala 50 - 100 MW yang patennya di miliki bersama oleh Indonesia.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan masukan bagi para pengambil keputusan di Indonesia untuk dapat mengkaji ulang perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya Nuklir.
Gallery :
Gambar diatas memperlihatkan berita di koran ketika reaktor MSR menjadi Critical pada 2 Juni 1965. Salah satu kalimat yang menarik adalah :
"The MSRE will now be operated at gradually increasing power levels. Then it will be shutdown for examination. Then it will be started up again..."
kalimat ini sangat signifikan bagi ahli nuklir menceritakan bagaiman dengan mudah daya reaktor dapat di naikan dan reaktor dapat di berhentikan dengan mudah kemudian di start kembali sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan mudah oleh reaktor LWR.
Bill Gates ingin bekerjasama dengan China untuk mengembangkan Reaktor Nuklir MSR dikarenkan proses licensing di Amerika yang cukup rumit dan memakan waktu lama. Sementara Gates ingin mengoperasikan reaktor sebelum 2020.
Untuk mendorong pengembangan, penelitian dan promosi Thorium, berbagai pihak dari multisektor membentuk Thorium Working Group Indonesia, yang terdiri dari personil PT INUKI, UGM, Bapeten dan BATAN. (penulis : no 2 dari kanan)
PT INUKI telah bekerjasama dengan ThorCon Power dalam pengembangan MSR yang rencananya akan di bangun di Indonesia. Pemilihan ThorCon adalah karena pemanfaatan galangan kapal sebagai fabrikasi reaktor yang dapat mendorong industri maritim.
Desain reaktor MSR milik ThorCon yang dibuat secara modular dengan teknologi galangan kapal sehingga dapat dibuat secara cepat dan dapat meningkatkan kapasitas kemampuan galangan kapal Indonesia - Reaktor 1000 MW di desain untuk dapat masuk kedalam kapal ukuran ULCC (550,000 DWT) sehingga reaktor secara utuh dapat di angkut dengan kapal ke lokasi.
Bahan bakar yang kami maksud adalah Thorium yang memilki densitas energi terpadat sehingga 1 ton Thorium yang hanya sebesar bola basket dapat menjadi bahan bakar pembangkit listrik berdaya 1000 MW selama 1 tahun. Bandingkan dengan uranium yang membutuhkan 200 ton atau batubara yang membutuhkan 3,5 juta ton. - dan yang lebih menggembirakan bahwa indonesia memilki Cadangan Thorium untuk 1000 tahun.
Revolusi energi berikutnya adalah Thorium, sebuah sumber energi yang bersih, tidak mengeluarkan emisi apapun dan karena densitas energi yang sangat tinggi maka energi yang dihasilkan sangat murah.
Thorium akan mengakhiri pengunaan bahan bakar minyak selamanya karena di masa depan kendaraan, kapal laut bahkan pesawat terbang dapat memakai Thorium sebagai bahan bakar.
Berakhir sudah tarif listrik PLN yang setiap tahun naik terus, karena tarif listrik dapat turun lebih dari 30% dan tidak akan naik selama anda hidup.
Ini semua bukan fantasi tapi akan menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 10 tahun dari sekarang.
Apakah Thorium ?
Thorium adalah sebuah unsur kimia dengan no 90 yang mempunyai sifat radioaktif yang dapat dipakai sebagai bahan bakar reaktor nuklir. Tidak seperti Uranium yang terbilang langka, Thorium terdapat dalam jumlah cukup banyak di dalam bumi di banding emas, perak, dan timah hampir di setiap negara di dunia terdapat Thorium.
Di Indonesia, Thorium dapat di temukan di Bangka Belitung sebagai ikutan timah dan menurut Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) ada sekitar 121.500 ton cadangan Thorium di Babel (hanya Babel belum seluruh Indonesia) yang dapat memberikan daya 121 Gigawatt selama 1000 tahun (saat ini total produksi listrik Indonesia masih di bawah 40 Gigawatt). – Bicara tentang kemandirian energi dan ketahanan energi inilah jawabannya bukan batubara yang akan habis dalam 20 tahun atau gas yang akan habis dalam 38 tahun.
Sejarah Thorium
Hampir semua bahan bakar PLTN di dunia adalah Uranium dalam bentuk padat dengan pendingin air atau yang disebut Light Water Reactor (LWR) yang memiliki 3 variant yang disebut : Pressurised Water Reactor (PWR), Boiling Water Reactor (BWR) dan Super Critical Water Reactor (SCWR) – PWR dan BWR adalah yang terbanyak di pakai di dunia.
Sejak awal penelitian Nuklir selalu di danai oleh militer, sejak Manhattan Project yang menciptakan bom atom Hiroshima-Nagasaki, karenakan kebutuhan untuk menciptakan bom nuklir yang lebih dahsyat dan unsur terpenting adalah Plutonium yang tidak di dapat di alam hanya didapat melalui proses fisi nuklir -- jadi sesungguhnya reaktor LWR hanyalah sebuah pabrik plutonium terselubung. Sebagai contoh 1000 MW reaktor PWR menghasilkan sekitar 230 kg/tahun Plutonium yang cukup untuk membuat 30 bom atom skala Hiroshima.
Adalah Dr Alvin Weinberger, salah satu anggota Manhattan Project yang mengusulkan mempergunakan Thorium sebagai bahan bakar reaktor daya sipil (PLTN) yang memiliki efisiensi lebih dari 90% dibanding uranium yang hanya dibawah 3% ditambah reaksi fisi thorium tidak menghasilkan Plutonium sehingga lebih aman tetapi ternyata hal ini justru yang tidak membuat Thorium menarik bagi pihak militer yang masih membiayai riset nuklir saat itu sehingga penelitian Thorium di hentikan pada tahun 1969.
Pada saat riset thorium di hentikan, Weinberger telah menciptakan sebuah reaktor khusus sipil yang bukan LWR yang telah beroperasi selama 20,000 jam tanpa masalah. Reaktor ini disebut Molten Salt Reactor(MSR) karena mempergunakan pendingin garam cair dan bahan bakar cair yang sangat cocok untuk thorium.
Sejak itu berkakhirlah pamor Thorium/MSR sampai tidak pernah lagi ada pembahasan MSR dalam dunia fisika nuklir sampai kejadian setelah Fukushima pada tahun 2011 para ahli nuklir mulai mengkaji ulang desain reaktor pendingin air dan berbahan bakar padat. Pemikiran untuk memakai bahan bakar cair mulai muncul kembali dan tentunya salah satu yang sudah terbukti adalah MSR.
Beberapa keunggulan TMSR vs LWR
Walaupun desain MSR selama lebih dari 50 tahun tidak ada yang melirik tetapi ketika pada tahun 2000 berbagai ahli dan pelaku industri nuklir berkumpul untuk membahas desain reaktor nuklir generasi ke IV dan MSR terpilih sebagai salah satu dari 6 reaktor yang di setujui sebagai reactor generasi ke IV yang handal dan satu-satunya yang sudah terbukti.
Beberapa keunggulan MSR dengan bahan bakar thorium dan garam cair (TMSR) dibanding reaktor LWR pada umumnya antara lain :
Reaksi fisi TMSR terjadi dalam tekanan normal (1 ATM) sehingga tidak membutuhkan struktur pelindung yang berat sehingga tidak akan menimbulkan ledakan bila terjadi kebocoran seperti pada LWR - Bandingkan dengan tekanan pada reaktor LWR yang pada tekanan 144 ATM atau setara seperti kedalam 1,5 km di dalam laut. Beton pelindungnya saja setebal 1,5 meter.
TMSR mengkonsumsi lebih dari 90% bahan bakar dibanding LWR yang hanya 3% sehingga sisa limbah radioaktif sangat kecil dengan tingkat radioaktif jauh lebih kecil di banding Uranium dan Plutonium dan limbah tersebut dapat di campur lagi sebagai bahan bakar TSMR – Sebagai perbandingan 1000 MW PLTN LWR menghasilkan limbah 35 ton sementara TSMR hanya 170 Kg.
Menghasilkan panas yang lebih tinggi di banding LWR sehingga menghasilkan efisiensi konversi energi dari panas ke listrik yang jauh lebih baik dari batubara, gas ataupun LWR.
Reaksi fisi dapat berhenti dalam sekejap (dalam hitungan menit) tanpa adanya decay heat yang berkepanjangan tidak seperti LWR bahkan setelah control rod dimasukan untuk menghentikan reaksi fisi tetapi decay heat pada tempratur 900 C masih tetap berlangsung yang menyebabkan akumulasi gas Hidrogen dapat menyebabkan terjadi meltdown dan ledakan yang meruntuhkan struktur pelindung -- seperti kasus Fukushima.
Ketika terjadi hilangnya listrik atau bencana lainnya maka garam cair akan meluncur ke tempat penampungan di bawah tanah secara otomatis tanpa bantuan listrik atau manusia secara gravitasi dan karena tidak adanya pemanasan maka dalam waktu singkat garam cair akan mengeras menjadi kristal sehingga aman. – TMSR dapat dikatakan Anti-Meltdown -- hal inilah yang di sebut “passive safety” atau “walk away safety” yang hampir menjadi kriteria utama semua jenis reaktor generasi ke IV, tentunya bagi jenis LWR hal ini sangat sulit di laksanakan dengan mudah, karena prinsip LWR adalah pendingin air, maka untuk melaksanakan fungsinya pompa air harus bekerja.
TMSR memilki desain reaktor paling sederhana dengan bahan bakar cair membuat reaktor dapat di buat kecil dengan daya kecil seperti 25 MW yang tidak mungkin di lakukan oleh reaktor LWR konvensional. Hal ini membuat TSMR sangat ideal untuk negara-negara berkembang yang konsumsi listrik masih rendah atau di Indonesia bagian Timur yang konsumsi listrik tidak terlalu tinggi. Karena TSMR tidak memakai air sebagai pendingin maka TMSR tidak harus di bangun di pinggir laut atau sungai karena tidak membutuhkan air dalam jumlah besar, sehingga dapat di posisikan di tengah daratan seperti wilayah Kalimantan Tengah atau di perbatasan Kalimantan.
Mungkin salah satu keunggulan TMSR yang pastinya akan di sukai oleh PLN adalah Load Following karena bahan bakarnya cair maka daya yang di hasilkan dapat di naikan dan di turunkan dalam waktu cepat. Hal ini berguna khususnya pada waktu-waktu beban puncak yang biasanya hanya berlangsung tidak lebih dari 2 jam. Sebagian besar pembangkit listrik PLN adalah base load (PLTU dan PLTA) dimana sulit untuk menaikan dan menurunkan daya dengan cepat sehingga PLN harus memakai pembangkit listrik seperti Genset diesel atau Gas yang biayanya mahal untuk mensuplai daya pada beban puncak – Artinya TMSR memiliki kemapuan base load dan load following yang tidak di miliki oleh jenis reaktor bahan bakar pada seperti LWR dan HTGR.
Salah satu keunggulan yang terpenting adalah keekonomisan yang tinggi. Karena desain TMSR adalah desain reaktor yang paling sederhana sehingga kontruksi dapat di lakukan secara fabrikasi di pabrik dan di rakit dilokasi membuat biaya pembangunan menjadi murah bahkan lebih murah dari PLTU di perkirakan rata-rata dibawah USD 2,5 Juta per MW bandingkan dengan LWR yang di kisaran 7 – 8 Juta per MW . Di karenakan harga thorium sangat murah dan efisiensi yang tinggi maka biaya produksi listrik TMSR tidak akan lebih dari USD 3 sen/kwh, sementara rata-rata biaya produksi listrik PLN saat ini di atas 10 – 12 sen dan tarif listrik di kisaran 9 sen maka dari tahun ke tahun subsidi listrik naik terus dan mungkin dapat membuat PLN menjadi untung karena selama rugi terus – Bayangkan pemerintah tidak perlu lagi mensubsidi PLN bahkan tarif listrik mungkin dapat turun.
Walaupun perusahaan Nuklir besar yang membangun PLTN saat ini mencoba mendesain generasi berikut reaktor jenis PWR dengan beberapa fitur pasive safety, modularity dan keekonomisan yang lebih tinggi seperti , AP1000 (Westinghouse), Areva EPR (Areva), ACP 100 (CNNC china), Korea SMART, NuSclae (NuScale), M-Power (Babcock & Wilcox), dan banyak lagi, tetapi tetap pada akhirnya tidak dapat menandingi TMSR dari sisi keselamatan dan keekonomisan - TMSR akan menjadi reaktor yang termurah biayanya.
Analoginya adalah ketika tahun 80'an pertama muncul Personal Computer dan saat itu ada berbagai jenis operating sistem yang meniru Microsoft DOS dan ada yang lain sama sekali seperti Apple, bahkan ketika Microsoft merelis windows pada tahun 1985 banyak yang mencemooh termasuk Apple tapi 10 tahun kemudian Windows menguasai 90% pasar operating system termasuk apple akhirnya menyerah dan membiarkan aplikasi Windows dapat di pakai di Mac OS. -- Saya yakin hal yang sama akan terjadi dengan reaktor nuklir. Paska beroperasinya TMSR pada 2020 tidak akan ada lagi pihak yang akan membangun reaktor yang bukan TMSR dan tidak ada lagi yang akan memakai Uranium sebagai bahan bakar hanya akan ada 2 pilihan : Thorium atau Limbah Nuklir.
Perkembangan TMSR saat ini
Sejak terjadinya Fukushima pembahasan tentang TMSR mulai hidup kembali bahkan sebuah forum International, International Thorium Energy Organisation sudah di bentuk dan melakukan konprensi internasional, International Thorium Energy Confenrences (IThEC) setiap tahun sejak 2010. Bahkan Sekjen Badan Dunia Energi Nuklir, IAEA, Hans Blix dan Carlo Rubbia, pemenang Hadiah Nobel Fisika dan juga menjabat Direktur CERN yang keduanya hadir sebagai pembicara pada IThEC 2013 untuk memberikan dukungan terhadap Thorium yang di sampaikan sebagai sumber energi masa depan -- Hadirnya kedua tokoh Nuklir yang terpandang tersebut menunjukan bahwa Thorium Energy bukanlah lagi sebuah wacana tetapi merupakan sebuah realita yang akan terjadi dalam waktu dekat. (interview Hans Blix tentang Thorium Energy dan Presentasi Carlo Rubbia pada IThEO 2013 dapat di lihat dengan mengklik namanya di atas)
China dan India menjadikan TMSR menjadi program energi nasional dan berlomba untuk menjadi yang pertama. China telah menunjuk Chinese Acedemy of Scince (CAS) sebagai pimpinan proyek TMSR. Ambisi China menjadi negara pertama yang mengoperasikan TSMR secara komersial, target mereka pada tahun 2020 TSMR dengan daya listrik 100 MW sudah dapat beroperasi dan 1000 MW pada 2030.
Komitmen China untuk merealisasikan ambisi tersebut jelas terlihat. Pada tahun 2011 CAS di berikan anggaran USD 350 Juta sebagai anggaran tahap awal dengan komitmen USD 1 Milyar selama 5 tahun dan CAS sampai saat ini telah merekrut lebih dari 300 Sarjana S3 dalam berbagai bidang. CAS juga telah melakukan kerjasama dengan Oak Ridge National Laboratory tempat di mana MSR pertama di buat dan Fakultas Tehnik Nuklir MIT. – Jelas dengan komitmen yang tinggi seperti ini Kami yakin China akan berhasil mengoperasikan TMSR pertama sebelum 2020.
Ada sekitar 25 perusahaan 12 negara di Dunia yang saat ini melakukan pengembangan TMSR termasuk China dan India tetapi sebagian besar adalah dibiayai oleh Swasta, hanya China dan India yang menjadi program Nasional. Salah satunya adalah Terrapower yang biayai oleh Bill Gates, pendiri Microsoft.
Gates menghabiskan lebih dari 10 tahun dan hampir USD 10 Milyar untuk membiayai berbagai teknologi energi bersih mulai dari teknologi baterai, Photovoltaic sampai Reaktor Nuklir dengan tujuan untuk membantu negara-negara terkebelakang seperti di Afrika untuk mendapatkan listrik murah dan bersih untuk mengangkat negara tersebut dari kemiskinan.
Ketika pada akhirnya ia memilih Reaktor Nuklir variant MSR yang diberi nama Travelling Wave Reactor (TWR) yang mempergunakan bahan bakar limbah nuklir cair – Hal ini membuktikan bahwa TSMR adalah sumber energi masa depan -- Tentunya sebagai seorang derwawan dan pendukung gerakan hijau Gates pastinya sudah mempertimbangkannya dengan matang sampai akhirnya memilih TMSR.
Pola bisnis mempergunakan limbah nuklir yang menjadi masalah bagi negara-negara nuklir sebagai bahan bakar MSR bukan hanya di lakukan oleh Terrapower tetapi berapa perusahaan lainnya. – Sehinggga MSR dapat menjadi solusi bagi industri Nuklir yang selama ini tidak ada jalan keluar selain di simpan dalam bunker di dalam tanah.
Ketika China pada tahun 2020 mengoperasikan TSMR maka saat itu adalah hari kematian energi fossil, seperti batubara, minyak bumi, gas bumi bahkan Jenis reaktor turunan LWR lainnya tidak akan ada yang memakai lagi. Karena dari sisi keekonomisan jelas tidak akan tertandingi dari jenis pembangkitan energi lainnya sampai mungkin teknologi Cold Fusion muncul.
Bagaimana dengan Indonesia ?
Di Indonesia, tidak banyak ahli Nuklir yang menyadari tentang TMSR. Bahkan ESDM dan BATAN dalam Buku Putih PLTN 5000 MW, menargetkan Indonesia akan mengoperasikan PLTN pertama pada 2030 dengan pilihan Pressurised Water Reactor (PWR) -- yang harus di ingat adalah Buku Putih tersbut adalah perencanaan 15 tahun dari sekarang yang mana saat itu PWR sudah menjadi teknologi usang (apalagi isu proliferasi yang bertambah kuat - PWR menghasilkan Plutonium) yang tidak akan lagi dipakai setelah kemunculan MSR atau reaktor generasi ke IV lainnya.
Seharus sebuah perencanaan jangka panjang di atas 5 tahun tidak saja melihat teknologi apa yang ada sekarang tetapi mempertimbangkan apa yang sedang dalam pengembangan. -- Ingat hanya di butuhkan waktu 10 tahun untuk teknologi seluler menggantikan dominasi fixed line telephone dan 5 tahun kemudian seluler dapat mengakses internet -- Bila saja pihak Telkom berpikir seperti ESDM dan BATAN dan tidak mendirikan PT Telkomsel pada tahun 1995 ketika seluler baru saja muncul, sangat mungkin saat ini PT Telkom sudah bangkrut. Karena faktanya Income terbesar PT Telkom adalah dari Telkomsel.
Dari sisi bahan bakar menurut data BATAN sendiri dalam Buku Putih PLTN, Indonesia hanya memiliki Cadangan Uranium 63.000 ton yang hanya cukup untuk 7 PLTN berdaya 1000 MW selama 40 tahun – sementara di buku yang sama BATAN menulis bahawa cadangan Thorium ada sekitar 121.500 (1 ton/tahun untuk 1000 MW) artinya cukup untuk 121 PLTN TMSR berdaya 1000 MW selama 1000 tahun. – Jelas thorium adalah pilihan yang rasional di banding Uranium.
Dari sisi keekonomisan BATAN dan ESDM masih menghitung biaya pembangunan PLTN pada kisaran USD 7 Juta/ MW padahal dalam dokumen IAEA tentang Small-Modular-Reactor (SMR), di perkirankan reaktor generasi IV SMR akan di desain dengan target biaya di kisaran USD 3 juta / MW.
Karena ketidaktahuan tentang adanya teknologi Nukir yang jauh lebih aman dibanding LWR maka Dewan Energi Nasional (DEN) dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional menempatkan Nuklir sebagai opsi terakhir. – Hal ini karena kekuatiran terhadap : Kecelakan (meltdown) dan radiasi yang sesungguhnya lebih banyak isu daripada faktanya, seperti pernah saya tulis dalam tulisan saya sebelumnya PLTN antara isu dan fakta. Tapi sayang dari pihak BATAN maupun ESDM tidak ada yang memberikan keterangan pembelaan terhadap PLTN sehingga kalimat "opsi terakhir" masuk dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional.
Pada tahun 2030 China dan India sudah mulai akan mengoperasikan TMSR 1000 MW dan pada saat itu sangat mungkin China akan sudah akan menjual TSMR ke Indonesia dengan harga murah -- Bila Indonesia ingin memiliki kemandirian energi melalui penguasaan teknologi nuklir inilah saatnya sebagaimana di amanatkan oleh Presiden Soekarno ketika meresmikan reaktor nuklir pertama di Bandung pada tahun 1965, satu tahun sebelum Jepang memiliki reaktor Nuklir. Tetapi 57 tahun kemudian setelah memiliki 3 reaktor eksperimen, 2 lembaga Nuklir (BATAN dan BAPETEN) dan 2 fakultas nuklir (ITB, UGM) Indonesia masih bermimpi memiliki PLTN.
Masalah ini sebenarnya sangat sederhana saja. Perintahkan BUMN yang begerak dalam bidang Nuklir, PT INUKI (Industri Nuklir Indonesia) untuk bekerjasama dengan salah satu perusahaan yang sedang melakukan pengembangan MSR yang sebagian besar adalah startup dan membutuhkan suntikan dana -- sama seperti yang di lakukan oleh Nurtanio yang bekerjasama dengan CASA ketika membuat pesawat pertamanya CN-212 yang berhasil melambungkan Nurtanio dalam waktu singkat menjadi Industri Pesawat Terbang kelas Dunia. Maka bila hal ini dilakukan dalam masa pemerintahan ini, saya yakin sebelum 2025 Indonesia sudah akan memiliki PLTN MSR skala 50 - 100 MW yang patennya di miliki bersama oleh Indonesia.
Semoga tulisan ini dapat menjadi inspirasi dan masukan bagi para pengambil keputusan di Indonesia untuk dapat mengkaji ulang perencanaan energi masa depan Indonesia, khususnya Nuklir.
Gallery :
Gambar diatas memperlihatkan berita di koran ketika reaktor MSR menjadi Critical pada 2 Juni 1965. Salah satu kalimat yang menarik adalah :
"The MSRE will now be operated at gradually increasing power levels. Then it will be shutdown for examination. Then it will be started up again..."
kalimat ini sangat signifikan bagi ahli nuklir menceritakan bagaiman dengan mudah daya reaktor dapat di naikan dan reaktor dapat di berhentikan dengan mudah kemudian di start kembali sesuatu yang tidak dapat dilakukan dengan mudah oleh reaktor LWR.
Bill Gates ingin bekerjasama dengan China untuk mengembangkan Reaktor Nuklir MSR dikarenkan proses licensing di Amerika yang cukup rumit dan memakan waktu lama. Sementara Gates ingin mengoperasikan reaktor sebelum 2020.
Untuk mendorong pengembangan, penelitian dan promosi Thorium, berbagai pihak dari multisektor membentuk Thorium Working Group Indonesia, yang terdiri dari personil PT INUKI, UGM, Bapeten dan BATAN. (penulis : no 2 dari kanan)
PT INUKI telah bekerjasama dengan ThorCon Power dalam pengembangan MSR yang rencananya akan di bangun di Indonesia. Pemilihan ThorCon adalah karena pemanfaatan galangan kapal sebagai fabrikasi reaktor yang dapat mendorong industri maritim.
Desain reaktor MSR milik ThorCon yang dibuat secara modular dengan teknologi galangan kapal sehingga dapat dibuat secara cepat dan dapat meningkatkan kapasitas kemampuan galangan kapal Indonesia - Reaktor 1000 MW di desain untuk dapat masuk kedalam kapal ukuran ULCC (550,000 DWT) sehingga reaktor secara utuh dapat di angkut dengan kapal ke lokasi.
0 komentar:
Posting Komentar